Minggu, 06 September 2020

Gairah Pasemetonan Tegehkori

 

Kesadaran umat untuk memahami kesejarahan dan jatidirinya kian mengalami peningkatan dalam beberapa tahun belakangan ini. Fenomena ini dapat dimaklumi karena manusia Bali berkeyakinan bahwa urusan mekawitan amat penting dan terkait erat dengan pelaksanaan yadnya serta sradha yang ke empat dari Panca Sradha yaitu punarbhawa. Orang Bali umumnya berkeyakinan bahwa panumadian (punarbhawa) berlangsung secara turun-temurun mengikuti garis purusha. Krama Bali juga berkeyakinan bahwa kelahiran berhubungan mutlak dengan swakarma atau baik-buruknya perbuatan semasa hidup. Karma adalah penentu wujud panumadian, pada kehidupan berikut apakah akan menjadi manusia berderajat (nista, madya, utama) atau bahkan merosot secara linear sesuai dengan rahasia paingkelun menjadi : wong, sato, mina, manuk, taru, wuku. Hindu berkeyakinan bahwa hidup sebagai manusia sejatinya adalah kesempatan emas untuk mengikuti ujian dharma melawan adharma. Itulah sebabnya Hindu lebih mengutamakan kualitas bagi pemeluknya ketimbang kuantitasnya. Kesempatan lahir sebagai manusia adalah suatu anugerah yang tidak pantas disia-siakan. Ujian kehidupan adalah peperangan terbesar yang berlangsung dalam diri sendiri sebagaimana digambarkan dalam ephos Bharatayudha. Itulah sebabnya yadnya terhadap leluhur (kawitan) beserta segenap aspek kedewataan lainnya diyakini merupakan bagian terpenting dari pemujaan dan senantiasa bermuara pada Ida Sang Hyang Tunggal Paramakawi. Bhagawadgita yang diturunkan oleh Dewa Wisnu melalui manifestasi Bhatara Kresna sesaat menjelang Bharatayudha adalah pedoman hidup sejati dalam memenangkan dharma melawan adharma. Senjata mahottama untuk mencapai kemenangan menurut Bhagawadgita adalah Yoga.


Telah menjadi semacam keyakinan di kalangan krama Bali bahwa melupakan kawitan atau keliru menentukan kawitan purusha jati akan mengakibatkan penderitaan. Keyakinan seperti ini membikin krama ketakutan. Tidak sedikit krama mencoba telusuri lewat bermacam upaya. Kendala utama adalah ketiadaan sumber tertulis, apakah itu berupa waris babad, silsilah, prasasti atau purana. Para pendahulu yang tidak mewariskan lelintihan keluarga akibatkan kebingungan pada diri damuhnya. Kisah lelintihan yang diturunkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun dari tahun ke tahun dan bahkan dari abad ke abad tentu tidak akurat dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Apalagi dibumbui dengan kalimat “anak mula kenten kone nika”.


Menurut Bhagawadgita, bahwa penyebab utama penderitaan adalah kebodohan atau ketidaktahuan (awidya). Ketidaktahuan di sini maksudnya adalah terkait dengan ilmu dan pengetahuan. Mereka yang tidak mengenai ilmu dan pengetahuan akibatnya kebingungan (moha). Kebingungan sebabkan kemiskinan (papa). Kemiskinan berujung penderitaan (dukha).


Para leluhur seperti halnya ayah dan ibu sejatinya juga amat sayang terhadap keturunannya. Para damuh seyogianya tidak mengabaikan orang tua dan leluhurnya (guru rupaka). Jika melupakan,. maka para damuh disebut anak durhaka (alpaka). Rasa sayang terhadap leluhur dapat diwujudkan dalam bentuk yadnya (pitra yadnya atau dewa yadnya). Kendati beliau-beliau itu secara fisik mungkin sudah tidak nampak secara kasatmata karena sudah kembali ke sunya loka, namun keberadaan para leluhur diyakini tetap ada di niskala dan senantiasa menaungi seluruh damuhnya. Hubungan vertikal antara damuh dengan leluhur bersifat abadi dan tentunya saling mengasihi.


Kini terkait dengan munculnya beberapa organisasi pasemetonan mungkin dapat ditafsirkan sebagai wujud saling mengasihi antar sesama damuh secara horizontal. Fenomena ini cukup menarik lantaran masing-masing organisasi pasemetonan itu secara kuantitatif memiliki anggota dalam jumlah relatif banyak. Organisasi pasemetonan Pasek saat ini memiliki anggota terbanyak. Disusul pasemotonan Dalem Badung I Gusti Tegehkori Kresna Kepakisan yang baru belakangan ini terbentuk dengan jumlah anggota mencapai ratusan ribu jiwa tersebar di seluruh Tanah Air. Mungkin jika pada suatu saat nanti organisasi pasemetonan Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan terbentuk dan organisasi pasemetonan Tegehkori masuk di dalamnya, maka jumlah anggotanya akan menjadi yang terbesar. Atau bahkan akan menjadi berlipat-lipat jumlah keangotaannya jika nanti organisasi Tegehkori bernaung di bawah organises induk pasemetonan Mpu Bradah. Itu pun jika ada yang sanggup merintis pembentukannya.


Kegairahan baru pun muncul seiring dengan berdirinya organisasi yang diberi nama Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegehkori. Para perintisnya kini duduk menjadi pengurus organsasi pusat dengan ketua umumnya Brigadir Jendera Polisi (Purnawirawan) Nyoman Gede Suweta kelahiran Desa Gobleg Buleleng. Kurang dari tempo setahun sejak berdirinya organisasi ini sudah sanggup menyelenggarakan Mahasabha I pada bulan Oktober 2009 dan menghasilkan sejumlah keputusan strategis menyangkut hal-hal yang amat dibutuhkan warganya. Disadari atau tidak, keberadaan organisasinya ini amat penting terutama berkaitan dengan hak dan kewajibar warga Tegehkori baik secara sekala maupun niskala. Salah satu momen penting terkait hasil Mahasabha I adalah terselenggaranya upacara Mewali ke Purusha Jati. Upacara ini mengandung makna penting kembalinya trah Tegehkori ke purusha yang sesungguhnya yakni Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan. Sebagaimana telah diungkapkan dalam babad pada bagian awal buku ini bahwa I Gusti Tegehkori I Raja Badung I lewat suatu goro-goro di paseban Puri Lingharsa di Samprangan pernah diangkat anak (kadanaputra) oleh Arya Kenceng seorang patih Bali yang diberi mandat oleh Dalem menjadi penguasa di Tambangan (Tabanan). Gorogoro di istana itu menyebabkan I Dewa Anom Pemayun harus pasrah menerima nasib terbuang dari pelukan ayah-bunda beliau ketika baru menginjak usia 11 bulan, serta nama beliau pun diganti oleh ayahanda tercinta Dalem, menjadi I Gusti Tegehkori. Setelah lebih enam abad berlalu dan sudah mencapai 18 generasi serta ketika kini telah memuncak kesadaran para damuh Ida untuk untuk kembali ke jati diri yang sejati-jatinya sesuai aliran darah genetis leluhur, maka upacara Mewali ke Purusha Jati yang telah terselenggara selama dua hari pada hari Jumat Paing hingga Sabtu Pon tanggal 16 dan 17 Oktober 2009 yaitu dua hari menjelang piodalan Pemacekan Agung Pura Dalem Badung di Benculuk Tonja Denpasar telah menjadi catatan emas dalam sejarah Tegehkori di era kesejagatan sekarang.


Upacara di awali dengan mapiuning lan pakemitan di Pura Dalem Badung/Benculuk dan Pura Batursari, lantas mapiuning di Pemerajan Agung Satria, menghaturkan upakaru guru piduka dan bendu piduka di Merajan Bhatara Arya Kenceng di Buahan Tabanan Aipuput oleh Ida Pandita Sri Bhagawan Yoga Wiswa dari Gria di Banjar Paket Agung Singaraja, mapiuning di Pura Agung Samprangan Gianyar, menghaturkan upakara guru piduka lan bendu piduka mwah mawali ka purusha jati di Merajan Pedharman Ida Bhatara Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan Puri Agung Klungkung dipuput Ida Pedanda di Semarapura Klungkung, mapiuning di Merajan Puri Gelgel, mapiuning di Pura Dasar Bhuana Gelgel, mapiuning di Pura Ulun Danu Batur Songan Kintamani Bangli dilanjutkan upacara pakelem di Danau Batur tepat tengah malam pukul 00.00 dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pasemetonan Agung Tegehkori DR.Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakama MWS. Puncaknya adalah di Besakih yakni upacara mapiuning di Pedharman Arya Kenceng, upacara guru piduka lan bendu piduka mwah mawali kapurusha jati di Pedharman Ida Bhatara Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan dipuput oleh Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Kerthi dari Gria Lebah Siung di Anturan Buleleng bersama Ida Pandita Sri Bhagawan Agni Sila Dharma Biru Daksa dari Geria di Bantiran Tabanan, dilanjutkan dengan pembacaan keputusan-keputusan Mahasabha I, serta diakhiri dengan menghaturkan puja suci bhakti di Penataran Agung Besakih. Peserta yang ikut dalam prosesi Mewali ke Purusha Jati itu terdiri atas para pengurus Pasemetonan Tegehkori dari semua kabupaten se Bali beserta para bhakta warih Dalem. Prasasti dan pratima dari Pura Batursari Tonja, Jembrana, Denpasar dan Singaraja ikut ngiringang Ida Bhatara Dalem Badung Tegehkuri lunga ke seluruh pura dimaksud.


Rangkaian panjang upacara Mewali ke Purusha Jati dimaksud mengandung makna yang am at mendalam sebagai tonggak bersejarah kembalinya secara resmi Ida Bhatara Kawitan Tegehkori beserta seluruh damuh Ida ke pangkuan Ida Bhatara Purusha Jati Shri Aji Dalem Kresna Kepakisan di Klungkung. Dengan mewalinya trah Tegehkori ring Puri Agung Klungkung sekaligus dengan pengakuan resmi Penglingsir Puri Agung Klungkung Ida Dalem Semarapura (walaka Ir.Tjokorda Gde Agung, SP) maka resmi pula tersambungnya kembali pasemetonan Tegehkuri dengan Puri Agung Klungkung di Semarapura. Terselenggaranya seluruh rangkaian upacara tersebut tidaklah lantas menjadikan terputus sama sekali hubungan kekerabatan dengan pihak Puri Buahan beserta pesemetonan Arya Kenceng lainnya. Hubungan kekeluargaan kekerabatan serta kerja sama dalam berbagai bidang akan terns dilanjutkan di masa-masa mendatang guna memperkuat nilai-nilai budaya spiritual dan lain sebagainya, sebagaimana telah terjalin dengan baik selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Tentang Penulis

  Penulis     Drs. I Gusti Nyoman Suartha Kelahiran Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt Kab. Buleleng, 23 Oktober 1952, Pendidikan Insti...