Minggu, 06 September 2020

Warih I Gusti Tegeh Kori


Menelusuri jejak sejarah leluhur yang telah terjadi dalam rentang waktu enam abad bukanlah pekerjaan gampang. Selain mesti didasari referensi yang cukup, seorang sejarahwan mesti memiliki wawasan kesejarahan yang luas dan mendalami secara matang suasana batin para leluhur sebagai pelaku sejarah berikut peristiwa kesejarahannya. Dengan kata lain seorang peneliti sejarah harus pandai terjun ke masa silam dan ia mesti sanggup menenggelamkan dirinya dalam lautan sejarah untuk kurun waktu yang tak terbatas. Tidak kalah pentingnya seorang sejarahwan harus mampu melakukan kajian secara obyektif dan komprehensif serta sejauh mungkin menghindari dorongan yang bersifal subyektif. Ia pun dituntut untuk senantiasa mengedepankan etika secara profesional. Penulis adalah bukan seorang sejarahwan.


Nama besar Tegehkori adalah sebuah nama yang cukup fenomenal di blantika sejarah Bali. Tegehkori menjadi sebuah daya tarik tersendiri dalam khasanah budaya di Bali. Keharuman nama raja Badung lima dinasti selama tiga abad (XV - XVII) yang sempat menjadi cerita misteri itu seakan tak lekang sepanjang zaman, meski hingga kini telah melintasi kurun sejarah sekitar enam ratus tahun. Dinasti Tegehkori beserta keturunannya sempat menghilangkan jejak dari sejarah Bali selama kurun waktu empat abad terakhir. Memasuki abad XXI tumbuh kesadaran beberapa orang warih yang peduli terhadap lelintihan, telah mencoba untuk mengungkap dan membukukan kesejarahan I Gusti Tegehkori.


Selama kurun lebih dari tiga abad (XVII - XX) seluruh paranti santana (keturunan) dinasti I Gusti Tegehkori nyineb prewangsa (menyembunyikan identitas kebangsawanan). Kini di abad XXI para damuh Ida mulai secara terbuka mengakui dirinya sebagai warih Ida Dalem. Organisasi khusus pasemetonan tingkat daerah dan nasional pun berhasil dibentuk oleh sejumlah tokoh Tegehkori pada tahun 2008. Mahasabha I Pasemetonan Ageng Tegehkori terselenggara pada tahun 2009 menghasilkan beberapa keputusan penting termasuk pengesahan kesejarahan Tegehkori. Hal-hal penting yang bersifat strategis mengenai hak dan kewajiban sameton Tegehkori juga berhasil dirumuskan dan diputuskan oleh Mahasabha I.


Masa kejayaan dinasti Tegehkori sebagai pendiri Kerajaan Badung berlangsung selama dua setengah abad (1390 - 1671 M). Awal masa suram diawali dengan peristiwa penyerangan oleh Ki Jambe Pule Merik bersama laskarnya mengobrak-abrik Puri Tegal Kutha. Sejak itu Raja Badung VI Gusti Tegeh Tegal Kutha beserta seluruh keluarga di kegelapan malam meninggalkan puri sejauh-jauhnya dan kemudian melepas status kebangsawanan. Hanya satu yang mereka bawa kesah (menyingkir) yakni sekotak rajapurana atau lebih dikenal dengan sebutan prasasti. Terbukti bahwa sejarah tidak akan pernah bisa terhapus selamanya dengan ditemukan catatan-catatan penting bernilai historis bahwa Kerajaan Badung yang terletak di wilayah selatan Pulau Bali pernah dipimpin oleh lima orang raja secara turun temurun dari satu dinasti I Gusti AnglurahTegehkori. Kerajaan Badung seperti juga beberapa kerajaan kecil lainnya di Bali berada di bawah naungan Dalem Bali. Pusat kerajaan Bali dinasti Dalem Shri Kresna Kepakisan pada mulanya berpusat di Puri Lingharsapura Samprangan Gianyar, kemudian berpindah ke Puri Swecapura di Gelgel dan terakhir Puri Semarapura di Klungkung. Hubungan Anglurah Badung dinasti Tegehkori dengan Dalem di masa itu berbeda dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Bali, karena selain menyangkut hubungan pemerintahan antara daerah bawahan dengan atasan juga pada kedua pihak memiliki kaitan genetis purusha. Hubungan purusha yang bersifat khusus dan permanen itu sejak zaman dulu hingga kini dan untuk seterusnya tetap abadi dan terjaga dengan baik.


Pusat pemerintahan kerajaan Badung dinasti Tegehkori I pada awal berdirinya berpusat di Tonja dan istananya disebut Puri Tonjaya. Diperkirakan pada masa pemerintahan berikutnya yakni ketika Badung diperintah oleh Anglurah Tegehkori II mulai dibangun istana baru yang kemudian diberi nama Puri Ksatria yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Putri Satria. Oleh karena kerabat puri terus-menerus berkembang-biak dari tahun ketahun maka di beberapa lokasi dibangun puri baru seperti di Tegal dan beberapa lokasi lainnya. Pasca ditinggalkan oleh Dinasti Tegehkori, Kerajaan Badung terus-menerus mengalami pergolakan berupa pertikaian perebutan kekuasaan peperangan antar kerajaan hingga peristiwa banjir darah dan air mata Puputan Badung. Anugerah Ida Bhatari Dewi Danu Batur berupa senjata cemeti dan tulup yang diterima Ki Jambe Pule menghantarkan beliau beserta keturunannya pada masa-masa kejayaan memerintah Kerajaan Badung sekaligus pula petaka yang menyertainya secara herois dengan semangat kepahlawanan.


Seluruh warih Ida Bhatara Tegehkori kini patut bersyukur memiliki leluhur yang pantas dipuja dan diteladani. Kawitan Tegehkori sebelum abiseka Raja Badung menerima anugerah bukan berwujud senjata namun berupa slepa (tempat sirih) berwarna keemasan dari Ida Bhatara Dewi Danu Batur. Rupa paica slepa dari Ida Bhatari itu jika dikaji secara mendalam mengandung makna filosofis yang amat luhur antara lain : tutug tuwuh artinya panjang usia. Pada masa silam para tetua yang melakukan tradisi nginang (menikmati sirih) hidupnya pada umumnya sehat-sehat dan kuat serta bertahan hidup lama. Terbukti selama lebih dua abad memerintah di Kerajaan Badung dipimpin oleh lima raja turun-temurun. Jika dirata-rata seorang raja semasa itu mampu memerintah selama kurun waktu 40 tahun. Makna slepa paica Ida Bhatari juga mengandung ilmu rahasia “mengecilkan” tubuh, sehingga Kawitan bisa masuk ke slepa dan jika diterjemahkan itulah ilmu pengetahuan kaprajnanan kawisesan kawaskitan lan kamoksan. Terubukti pula selama dua abad itu Gumi Badung mengalami zaman keemasan kerta raharja gemah ripah loh jinawi (kepemimpinan yang adil makmur aman sentosa dan bahagia) tidak pernah terjadi pergolakan kekuasaan dan peperangan.


Kendati pasca “kudeta” Kiyayi Jambe Pule Merik selama lebih tiga abad warih Tegehkori tercerai-berai di antero Bali dan Nusantara, namun kini seluruhnya telah dipersatukan kembali melalui Mahasabha I tahun 2009 oleh Pasemetonan Ageng Nararya Dalem Tegehkori. Pusat sungsungan Kawitan Tegekori adalah di Pura Dalem Benculuk/Badung (Purusha) dan Pura Batursari (Pradhana) genahpaica slepa Ida Bhatara Dewi Danu Batur (Ratu Gede Batursari) untuk memohon kesejahteraan. Setelah sukses pelaksanaan Mahasabha I tahun 2009 dilanjutkan dengan upacara Mewali ke Purusha Jati dengan menghaturkan upacara guru piduka lan bendu piduka, maka seluruh warih Ida Bhatara Dalem Tegehkori berhak menghaturkan bhakti ke hadapan Kawitan sane duwuran utawi lingsiran yakni Ida Bhatara Dalem Shri Kresna Kepakisan di Merajan Pedharman Puri Agung Klungkung dan di Pura Pedharman Dalem Shri Kresna Kepakisan di Besakih. Selain itu tidak kalah pentingnya bahwa semua warih pun dapat ngelungsur kajang kawitan langsung di Puri Agung Klungkung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Tentang Penulis

  Penulis     Drs. I Gusti Nyoman Suartha Kelahiran Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt Kab. Buleleng, 23 Oktober 1952, Pendidikan Insti...