Pesamuan Agung Nararya Dalem Tegehkori yang digelar pada tanggaL 9 September 2010 di Nusa Dua Badung menghasilkan bhisama tentang penetapan pura kawaitan yang menjadi pusat sungsungan warih Dalem Tegehkori. Ada dua pura penting yang ditetapkan menjadi pusat sungsungan yakni Pura Dalem Benculuk sebagai purusha dan Pura Batursari sebagai pradana. Kedua pura tersebut posisinya bersebelahan, di Kelurahan Tonja Denpasar. Pura Dalem Benculuk menghadap ke arah barat sesuai dengan garis edar matahari/surya dan bulan/candra yang bersifat aktif, sedangkan Pura Batursari menghadap kelod (selatan) sesuai dengan posisi kutub bumi/pertiwi yang bersifat statis.
Pesamuan Agung yang baru pertama kali digelar oleh Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegehkori (PANDBTK) pasca Mahasabha I Tahun 2009 itu juga juga menetapkan kewajiban warih Tegehkori untuk mempelopori penyederhanaan upacara Hindu di Bali. “Penyederhanaan” itu lebih dimaksudkan agar umat Hindu mampu bersaing mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di era kesejagatan ini sesuai dengan intisari kitab Weda tanpa meninggalkan tradisi loka dresta yang telah hidup sepanjang zaman. Penyederhanaan upakara dan upacara hendaknya disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Penyederhanaan menjadi solusi dasar agar potensi keuangan masyarakat Hindu di Bali bisa diarahkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Terkait dengan upakara/upacara dimaksud, Pesamuan Agung I juga menetapkan penggantian istilah tingkatan yadnya menjadi alit, madya agung, menggantikan istilah lama nista, madya, utama. Alasannya, dari kontek-bahasa, konotasinya sangat tidak baik, padahal semua upakara/upacara tujuannya baik/utama. Ternyata selama ini istilah nista amat mengganggu karena konotasinya dianggap rendah/hina. Dengan penggantian istilah ini umat Hindu khususnya di Bali bisa melaksanakan yadnya dengan baik tanpa harus dibayangi oleh beban perasaan besar kecilnya bebanten/upakara serta marak tidaknya rangkaian prosesi upacara. Sekretaris Jendral PANDBTK DR.Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III menegaskan perubahan ini akan berdampak pada kesetaraan hak azasi setiap orang dalam melaksanakan yadnya.
Pesamuan Agung I Tahun 2010 juga melahirkan keputusan tentang pedoman pelaksanaan upacara yadnya, yakni apa pun macam pelaksanaan yadnya itu agar umat selalu menjunjung etika terhadap sulinggih yang muput upacara. Wujud penghormatan terhadap sulinggih adalah bentuk pelaksanaa Rsi Yadnya yang terkait pula dengan Tri Rna dan Catur Guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.