Minggu, 06 September 2020

Tentang Penulis

 

Penulis


 

 Drs. I Gusti Nyoman Suartha Kelahiran Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt Kab. Buleleng, 23 Oktober 1952, Pendidikan Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta 1984, Pensiun PNS Pemkab Buleleng Nopember 2008, penekun sejarah dan spiritual, Penyusun Kalender Bali sejak tahun 1999, Ayah I Gusti Putu Mangku, Ibu I Gusti Ayu Nyoman Kuntri, Istri Ni Wayan Suri (Jero Suri) kelahiran Juwuk Legi Baturiti Tabanan, anak I Gusti Bagus Putu Pranayoga, SE.Ak, I Gusti Made Dwinanda Sidiartha,SE.MM, I Gusti Nyoman Doananda Samadiartha.SE, I Gusti Ayu Ketut Sidianthari, I Gusti Ayu Ketut Wiraswaryani, I Gusti Ngurah Ketut Raharya Sidiaji, Menantu Kadek Fitri Purnami (Jeru Purnami), I Gusti Ayu Primayanti,S.Si., Kadek Arie Wahyuning, S.Pd (Jero Arie), cucu I Gusti Bagus Putu Satria Yogananda, I Gusti Ngurah Bagus Waskita Dhaneswara, I Gusti Ngurah Made Anantawirya Yogeswara, I Gusti Ngurah Devananda Bhakti Sadhana, Saudara kandung I Gusti Ayu Putu Suarni,SPd, I Made Suarya,SE.Ak.MM, I Gusti Ayu Ketut Suartini, I Gusti Ayu Ketut Suardani, I Gusti Ketut Suarjana,SH, Dr. I Ketut Suarjaya,MPH, I Gusti Ayu Ketut Suartari,SPd, I Gusti Ketut Suardaka.SE, I Gusti Ayu Ketut Suaryani, I Gusti Ayu Ketut Suarsari, I Gusti Ketut Suarningsih.


Alamat:

Jalan Cempaka No. 12 Singaraja Bali,

E-mail: nyomansuartha52@yahoo.com

Hp 081 353 231 467 / 087762841952


FALSAFAH BELAJAR SEUMUR HIDUP

Hidup adalah belajar


Belajar bersyukur meski tak cukup

Belajar memahami meski tak sehati

Belajar ikhlas meski tak rela

Belajar bersabar meski tak mampu

Belajar dari pengalaman meski tak menyenangkan

Belajar menjadi lebih baik untuk menjadi yang terbaik

Belajar untuk diam dari banyaknya bicara

Belajar untuk tenang dari sebuah kemarahan

Belajar untuk mengalah dari sebuah keegoisan

Belajar untuk tetap tegar dari setiap kehilangan

Belajar untuk selalu tabah dari setiap keadaan


Maka dari itu tetaplah belajar

Untuk tetap berada di jalan yang benar


“Orang yang paling bahagia

tidak selalu harus memiliki yang terbaik dalam hidupnya

tetapi selalu berusaha untuk menjadikan setiap apa pun

yang hadir dalam hidupnya menjadi yang terbaik”



DAFTAR KEPUSTAKAAN


(1) Ketut Sidia : Silsilah dan Autobiografi. (2) Ketut Putru: Babad Arya Dalem Benculuk, (3) Made Lila ; Terjemahan Babad Arya Dalem Benculuk. (4) Ktut Soebandi: Pedanda Sakti Wawu Rawuh, Asal-usul Peninggalan dan Keturunannya, (5) Gedong Kirtya : Babad Arya Tabanan, (6) I Made Suarsa : Geguritan Kebo Tarunantaka (Pralinaning Bali Pulina), (7) I Nyoman Kantun,SH,MH, Drs. I Ketut Yadnya : Babad Sidakarya. (8) Drs.K.M.Suhardana : Babad Nyuhaya. (9) I.B.Suparta Ardhana : Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia. (10) A.A.Anom Sudira Pering : Maha Gotra Arya Tri Sanak (Arya Bang Wayabaya, Arya Bang Pinatih, Arya Bang Sidemen). (11) Gde Soeka.SH : Tri Murti Tatwa, (12) Ida Bagus Putu Purwita : Seorang Brahmana Sidakarya, (13) Nyoman Wista Darmada, Made Gede Sutama : Asal-usul Warga Pande di Bali, (14) Ktut Soebandi : Pure Kawitan/Padharman dan Panyungsungan Jagat, (15) dr.Soegianto Sastridiwiryo : Perang Jagaraga (1846-1849), (16) Anak Agung Gde Putra Agung : Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali Utara, (17) dr.Soegianto Sastrodhiwiryo Perang Banjar (1868), (18) Pemerintah Kabupaten Klungkung : Sejarah Klungkung (Dari Semarapura sampai Puputan), (19) I Nyoman Supatra : Ki Balian Batur, Guru Aji Pengiwa. (20) Ktut Soebandi : Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, (21) A.A.Anom Sudira Pering : Dalem Tarukan (Derita Pengabdian dan Keturunan), (22) Aco Manafe: DR.Ide Anak Agung Gde Agung, Keunggulan Diplomasinya Membela Republik, (23) I Gusti Bagus Sugriwa : Hari Raya Nyepi, Ciwa Buddha Binneka Tunggal Ika, (24) Drs.K.M.Suhardana : Sejarah dan Babad Keloping, (25) Ngurah Nala : Perjuangan Rakyat Bondalem (Zaman Jepang, Perang Kemerdekaan dan Pasca Perang Kemerdekaan, (26) Ida Bagus Gede Agastya : Eka Dasa Rudra Eka Buana, (27) Biro Humas Setprop Bali : Karya Agung Panca Bali Krama, (28) jro Mangku Made Buda : Babad Nusa Penida, (29) Drs. I Ketut Wiana : Mengapa Bali disebut Bali?, (30) Megandara W. Kawueyan : Tata Pemerintahan Negara Kertagama, Kraton Majapahit. (31) Drs. Suwardono : Candi Singosari, (32) Dinas Pendidikan Dasar Prop Bali : Kamus Kawi - Bali. (33) Departemen Pendidikan & Kebudayaan ; Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, (34) Drs.I Nyoman Singgin Wikarman : Leluhur Orang Bali, Dari Dunia Babad, (35) Ktut Soebandi : Berbakti Kepada Kawitan (Leluhur) adalah Paramo Dharmah, (36) Prof.DR.I Gusti Ngurah Gorda.MS.MM : Kepemimpinan Ki Barak Panji Sakti, Dalam Perspektif Era Kesejagatan, (37) Ir.Ketut Buda.SU : Keturunan Dalem Sukawati di Bubunan, (38) Dinas Pekerjaan Umum Prop Bali: Rumusan Arsitektur Bali, (39) A.A. Bagus Wirawan : Pura Dasar dan Sweca Linggarsa Pura, (40) Pemerintah Prop Bali: Sejarah Perang Jagaraga, (41) Ida Wayan Oka Granoka : Reinkarnasi Budaya, (42) Markas Daerah Legiun Veteran RI Prop Bali: Sekilas Sejarah Perjuangan Letkol I Gusti Ngurah Rai (Puputan Margarana), (43) Nyoman S. Pendit : Bali Berjuang, (44) I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa : Bergerilya Bersama Ngurah Rai, (45) IBG.Agastya : Di Kaki Pulau Bali. Sejumlah Esai Sastra, (46) Ketut Wiana & Raka Santri : Kasta dalam Hindu, Kesalahpahaman Berabad-abad, (47) I Made Sutaba dkk : Manfaat Sumberdaya Arkeologi untuk Memperkokoh Integritas Bangsa, (48) Dinas Kebudayaan Propinsi Bali : Pura Goa Lawah, (49) I Ketut Ginarsa : Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, DR. Soekmono : Candi Borobudur, (50) Putu Kusmada,BA : Tugu Bhuwana Kerta, di Desa Panji Buleleng, (51) IGB Meraku TY : Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Buleleng 1945-1950, (52) Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647, (53) Kumpulan Kliping Koran dan Majalah, (53) Silsilah Raja Panji Sakti, (54) Ktut Soebandi & DR.I Wayang Mertha Sutedja Silsilah Pasek Sana Sapta Rsi, (55) Kanjeng Raden Tumengung Purwosaputro (Raden Bamang Eko) : Asa-usul Raja-raja di Jawa, (56) Anger WRS : Silsila Raja-raja Kerajan Kutei, Tarumanegara, Kalingga, Mataram I, Medang/Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Jayakarta, Banten, Cirebon, Pajang, Matara, Kartosuro, Surakarta, Yogyakarta, (57) Angger Gemilang : Silsilah Raja-raja Jawa Barat, Sunda – Galuh, Pajajaran, (58) Made Kembar Krepun : Masalah Kasta, 59 IGusti Bagus Sugriwa : Babad Pasek, Sejarah Dalem Benculuk Tegehkori - PANDBTK 2012.


Misteri Kajang Kawitan Dalem



Peristiwa unik dan penuh misteri terkait Kajang Kawitan Dalem (paspor niskala) terjadi di Jero Lingsir Tegehkori Mangku Pabean di Pengastulan pada rahina Anggara Paing Pujut 2 Agustus 2011. Hari penting yang cukup bersejarah itu dipilih sesuai pawuwus yang didapat oleh pengageng Jero Lingsir yakni I Made Suarya. Kendati pada awalnya ada usulan internal agar jadwal upacara diundur berhubung secara mendadak Dadia Jero Lingsir akan menyelenggarakan pengabenan almarhum I Gusti Putu Astina. Namun berdasar hasil musyawarah, maka upacara Ngaturang Swadharma Asia Rna Kajang Kawitan Dalem jalan terus karena Kajang Kawitan Dalem dari Puri Agung Klungkung telah lebih dulu di-pendak.


Pada siang harinya sesuai jadwal yang telah disepakati, diawali dengan upacara mapiuning di Kahyangan Tiga. Menjelang sore hari dilakukan upacara nangiang leluhur di Paibon Merajan Lingsir, dipimpin oleh Jero Mangku Pabean I Ketut Putru. Para pemangku yang mendampingi terdiri atas pemangku Kahyangan Tiga, pemangku Pura Ageng, pemangku Pura Badung, Kelian Desa Pakraman Jero Mangku Made Sadra dan Jero Bendesa Lingsir Nyoman Dana. Di Paibon para damuh memohon perkenan leluhur sebanyak delapan tingkatan metangi guna di-iring lunga ke pantai SegaraTanah Selaka untuk prosesi Pamurtian Pitara Rna - Kajang Kawitan. Sesuai dengan garis silsilah Jero Lingsir, terhitung ada sebanyak delapan tingkatan generasi yang belum mabusana Kajang Kawitan Dalem saat prosesi pengabenen selama periode tiga abad silam, yakni generasi abad XVIII - XX. Para damuh meyakini bahwa ada sesuatu yang sempat terlupakan, yakni masih adanya leluhur yang belum sempat mewastra rurub Kajang Kawitan Dalem saat diaben pada beberapa periode pengabenan selama lebih dari dua abad yang silam. Nah, agar tidak selamanya menjadi "hutang" (rna) terhadap para pitara (pitara rna) maka generasi sekaranglah yang diberi mandat oleh leluhur untuk menjalankan upacara yang amat penting ini.


Upacara sakral di pesisir Segara Tanah Selaka itu diiringi gamelan gong dan gending-gending Dewa Yadnya beserta doa mantram dan harumnya kepulan asap dupa. Seluruh warga Dadia Jro Lingsir larut dalam doa dan sembah yang khusuk memohon ke hadapan para Dewa dan Bhatara Kawitan, semoga upacara barlangsung dengan lancar dan selamet. Puncak upacara dilakukan dengan menghaturkan Kajang Kawitan Dalem ke hadapan leluhur lewat prosesi ngeseng. Satu-persatu lembaran-lembaran kain putih merajah aksara-aksara suci paican Ida Mangku Merajan Agung Dalem Semaraputra di Klungkung dipersembahkan oleh para damuh ke hadapan para leluhur. Pamurtian Kajang Kawitan Dalem mengandung sebuah makna "pengakuan sejati" bahwa para leluhur adalah benar-benar keturunan genetis (damuh pratisantana) Kawitan Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan / Dalem Wau Rauh). Perlu dicatat, bahwa peristiwa langka ini hanya bisa terjadi karena damuh periode sekarang ini telah melaksanakan upacara agung “Mawali ka Purusha Jati” serangkaian Mahasabha Pasemetonan Agung Tegehkori tahun 2009. Tanpa didahului dengan upacara mahottama “Mawali ka Purusha Jati” tidaklah mungkin upacara besar ini bisa terlaksana. Inilah sebuah isyarat alam, pituduh Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tidak sembarang orang bisa mencerna dengan pikirannya. Namun keluarga besar Jero Lingsir saat itu telah mendapat kehormatan utama untuk menyelenggarakan upacara yang dapat disejajarkan dengan agnihotra atau homa, lewat upacara tawur agung Asta Rna Kajang Kawitan Dalem.


Abu kajang yang tersisa lantas di-pralina ke laut lepas seiring dengan mapasucian-nya para leluhur ring sarining amerta segara. Usai mapendak lan ngedetin, maka para leluhur diiring mewali masthana di Paibon Merajan. Suasana upacara hingga petang hari itu terekam penuh haru bercampur bahagia. Seluruh damuh paratisantana merasa plong hatinya, karena langsung merasa terlunasi Pitara Rna-nya yang selama ini membebani bak mendung kelabu menggelayut di dalam kalbu.


Kembali ditegaskan, bahwa upacara yang tergolong mahottama di Jero Lingsir Pengastulan itu tidak terlepas dari mata rantai upacara Mawali ka Purusha Jati Ida Bhatara Kawitan Tegehkuri ke Bhatara Shri Dalem Bangsul (Bali) yakni ayahanda sejati beliau Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan/Dalem Samprangan. serangkaian Mahasabha Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegehkori tahun 2009. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri sebagai jawaban alam atas sejumlah keputusan strategis yang dihasilkan oleh Mahasabha I yang telah bergaung hingga ke niskala loka.


Sebagai kelanjutan dari upacara tadi, maka seluruh keturunan Jero Lingsir hendaknya jangan sampai melupakan mendak Kajang Kawitan Dalem manakala hendak melaksanakan upacara palebon/ ngaben. Resikonya akan sangat besar jika sampai salah nunas Kajang Kawitan, misalnya nunas ke tempat lain. Kajang Kawitan yang tidak sesuai dengan swadharmanya akan membawa akibat tidak baik bagi kelangsungan hidup anak-cucu di kemudian hari. Demikian pula resiko yang tergolong amat berbahaya juga sudah tentu akan dialami oleh damuh purusha yang berani nilar agama. Seluruh warga dadia Jero Lingsir harus selalu eling. Hanya sebatas keliru saja menggunakan Kajang Kawitan membawa akibat kelak terancam suatu masalah besar. Apalagi sampai berani meninggalkan Agama Hindu yang dianut secara turun-temuran, pasti dan pasti yang bersangkutan terkena kutuk pastu dari para leluhur dan kawitan. Hal ini harus dicamkan baik-baik oleh damuh yang hidup sekarang. Jika sementara ini ada damuh purusha yang telah telanjut nilar Agama Hindu, segeralah sadar, kembalilah ke agama leluhur yang paling mulia ini. Ingat! resikonya amat berat. . . "engkau dikutuk oleh leluhur, engkau tidak akan menemui kebahagiaan seketurunanmu... (camkan isi Babad).



ASUNG KERTA WARANUGERAHA IDA SANG HYANG WIDHI WASA Alasan sebagian Krama Dadia Jero Lingsir Pengastulan

kembali menggunakan I Gusti :


  1. Surat Keputusan Mahasabha I Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegeh Kori, Nomor : 02/MHSB.I/PANDBTK.BALI/IX/2009 Tentang Bhisama dan Catur Swadharmaning Ksatrya Dalem; tertanggal 9 September 2009;
  2. Memenuhi amanat / pawuwus Ida Bhatara Kawitan Dalem Tegehkuri menjelang upacara pengabenan I Gusti Made Lila pada tahun 1980, pakeling niskala I Gusti Nyoman Sudarmika pada tahun 1994, serta sesaudan Jero Mangku Dr. I Gusti Ketut Suarjaya di Merajan Kemulan pada tahun 2011;
  3. Memenuhi kehendak para leluhur Jero Agung Pengastulan yang sempat tertunda sejak Indonesia Merdeka 1945 yakni I Gusti Putu Anom, I Gusti Ketut Gede, I Gusti Ketut Mardi serta Kombes. Pol. I Gusti Ngurah Oka dan I Gusti Ngurah Teken pada tahun 1955, menyusul kemudian I Gusti Made Hasti tahun 1985 untuk mengajak kembali para saudara sepurushanya di Jero Lingsir menyandang sebutan I Gusti;
  4. Ikut serta melaksanakan Upacara "Mawali ka Purusha Jati"' pada Jumat Paing dan Sabtu Pon 16-17 Oktober 2009 yakni kembalinya Ida Bhatara Kawitan Dalem Tegehkuri ke Purusha Genetis Ida Bhatara Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan. dilanjutkan dengan Upacara Pawintenan IGusti Ayu Nyoman Kuntri, IGusti Nyoman Suartha dan Jero Ni Wayan Suri di Merajan Agung Puri Agung Klungkung saat Nyejer Piodalan pada Saniscara Paing Merakih 20 Oktober 2012 disaksikan oleh Ida Dalem Semara Putra.


Maksud dan Tujuan kembali menyandang sebutan IGusti adalah :

  1. Maksudnya : adalah untuk menegakkkan kembali warisan Sejarah Kawitan beserta Silsilah Leluhur yang telah disusun secara relatif lengkap oleh Drs. IGusti Nyoman Suartha ke dalam sebuah buku bertajuk : "Sejarah MAWALI KA PURUSHA JATI Bhatara Dalem Benculuk IGusti Tegehkuri - Pendiri Kerajaan Badung, Mendirikan Pura Badung Pengastulan-Buleleng" (catatan: buku tersebut tersebar luas sejak tahun 2009);
  2. Tujuannya : adalah untuk mewujudkan kesejateraan lahir dan batin (sekala & niskala).


Upacara lanjutan terkait kembalinya menyandang sebutan IGusti :

  1. Upacara Mapiuning di Merajan Jero Lingsir Pengastulan pada Anggara Kliwon (Kasih) Perangbakat 25 Juni 2013 bertepatan dengan Rerahinan Kawitan di Merajan Meru Tumpang Tiga;
  2. Upacara Mapiuning di Pura Badung Pengastulan pada Wrespati Paing Perangbakat 27 Juni 2013 saat Upacara Nyejer Piodalan Ageng Ida Bhatara Kawitan di Pura Badung;
  3. Upacara Mapiuning di Kahyangan Tiga dan Pura Ageng Pengastulan.
  4. Upacara mapiuning di beberapa pura penting lainnya yang terkait di Bali.


Motto :

"...hargailah orang lain sebagaimana engkau menghargai dirirmu sendiri..."


Singaraja, 12 Juni 2013 

Pengageng Jero Lingsir Pengastulan

Kutipan Silsilah Dadia Jero Lingsir Pamerajan I Gusti Made Lila



17. I Gusti Tegehkori VII menjadi Punggawa Pengastulan I menurunkan : I Gusti Ngurah Keropak (Punggawa Pengastulan II di Jero Lingsir), I Gusti Gelar, I Gusti Banteng. Ketika di Puri Satria Badung menurunkan IGst.Ayu Genjot kawin ke Puri Mengwi, IGst.Ngr.Raden mendirikan Puri Jro Kuta di Denpasar, IGst. Tulus menetap di Patemon, IGst. Gd. Oka dan IGst.Nyoman Badung menetap di Penyaringan Jembrana.

18. I Gusti Gelar menurunkan : I Gusti Jejer.

19. I Gusti Jejer menurunkan : I Gusti Tulus Haji.

20. I Gusti Tulus Haji menurunkan : I Gusti Tulus Oka.

21. I Gusti Tulus Oka menurunkan : I Gusti Nuradi.

22. I Gusti Nuradi menurunkan : I Gusti Widi.

23. I Gusti Widi menurunkan : I Gusti Djandji beliau adalah Pemangku Pura Badung yang menetap di sisi barat Badung Pura Badung mendirikan merajan alitan.

24. I Gusti Djandji menurunkan : I Gusti Sirna.

25. I Gusti Sirna menurunkan : I Gusti Putu Radjeng, I Gusti Made Lila, I Gusti Ketut Djelantik, I Gusti Rombia.

26. I Gusti Made Lila menurunkan : I Gusti Gede Wiasa, I Gusti Putu Astina.

I Gusti Ketut Jelantik menurunkan : I Gusti Ketut Wedra, I Gusti Ketut Wita.

27. I Gusti Gede Wiasa menurunkan : I Gusti Bagus Putra Sanjaya (alm.), I Gusti Komang Ngurah Santosa.

I Gusti Putu Astina menurunkan : I Gusti Putu Surya Dharma

I Gusti Ketut Wedra menurunkan : I Gusti Ketut Arianta, I Gusti Ketut Ariadi.

28. I Gusti Komang Ngurah Santosa menurunkan : I Gusti Putu Arya Ananda Adi Nugraha Santosa, I Gusti Kadek Arya Anggra Saputra Santosa.

Kutipan Silsilah Dadia Jero Lingsir Mangku Pabean Pengastulan

 


  1. Sang Hyang Pasupati menurunkan : Bhatara Hyang Tugu (Andakasa), Bhutara Hyang Putra Jaya (Tolangkir), Bhatara Dewi Danu (Batur), Bhatara Hyang Geni Jaya (Lempuyang), Bhatara Hyang Manik Galang (Pejeng), Bhatara Hyang Manik Gumawang (Beratan), Bhatara Hyang Tumuwuh (Batukaru)
  2. Sang Hyang Geni Jaya menurunkan: Mpu Withadharma (Shri Mahadewa)
  3. Mpu Witadharma menurunkan : Mpu Wiradharma (Mpu Bhadjrastawa), Mpu Radjakena (Mpu Dwidjendra).
  4. Mpu Badjrastawa menurunkan: Mpu Tanuhun
  5. Mpu Tanuhun menurunkan: Mpu Agnidjaja (Lempuyang Madya), Mpu Semeru (Besakih), Mpu Ghana (Gelgel), Mpu Kuturan (Padangbai), Mpu Bradah (Lemah Tulis Pejarakan, Silayukti, Merajan Kanginan Besakih)
  6. Mpu Bradah menurunkan : Mpu Bahula, Mpu Siwagandu, Ni Dyah Widawati
  7. Mpu Bahula menurunkan : Ni Dewi Amerta Mangali, Ni Dewi Amerta Djiwa, Ni Dewi Dwararika, Mpu Tantular; Ni Dewi Adnjani.
  8. Mpu Tantular menurunkan : Danghyang Kepakisan, Danghyang Semaranatha, Danghyang Sidhimantra, Danghyang Panawasikan.
  9. Danghyang Kepakisan menurunkan : Shri Soma Kepakisan.
  10. Shri Soma Kepakisan menurunkan : Shri Juru (Blambangan), Shri Bima Sakti (Pasuruan), Shri Istri Kepakisan (Sumbawa), Shri Aji Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan I).
  11. Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan menurunkan : Dewa Tarukan, Dewa Ayu Wana, Dewa Agra (Dalem Samprangan II), Dewa Ketut Ngulesir (Dalem Gelgel I), Dewa Tegal Besung, I Dewa Anom Pemayun.
  12. I Dewa Anom Pemayun ganti nama menjadi I Gusti Tegehkori (kedarmaputra Arya Kenceng) kemudian menjadi Raja Badung Dinasti Tegehkori I di Benculuk Tonja.
  13. I Gusti Tegehkori I menurunkan : I Gusti Tegehkori II (Raja Badung II di Satria), Arya Tegehkori (Tonja), Arya Tegeh Pakuwon (Panjer).
  14. I Gusti Tegehkori II menurunkan : I Gsti Tegehkori III (Raja Badung III di Puri Satria), Arya Tegehkori (Puri Tegal, Bingan, Buagan, Suwung, Kalungu Kelod).
  15. I Gusti Tegehkori III menurunkan : I Gusti Tegehkori IV (Raja Badung IV di Tegal), I Gusti Tegehkori (Kuta, Jimbaran, Serangan, Banjar Tegal Singaraja, Suwung, Tinggan Petang, Belahkiuh).
  16. I Gst Tegehkori IV menurunkan : I Gst Tegehkori V (Raja Badung V di Puri Tegal Kutha).
  17. I Gusti Tegehkori V menurunkan I Gusti Tegehkori VI yang kemudian menyingkir ke Gianyar mendirikan Puri Tegal Tamu.
  18. I Gusti Tegehkori VII yang lahir di Puri Satria menyingkir ke Denbukit menjadi Punggawa Pengastulan I atas restu Raja Panji Sakti II. 
  19. I Gsti Tegehkori VII menurunkan IGst.Ngr Raden (Puri Jero Kuta), IGst. Ayu Maimba (kawin ke Puri Mengwi), I Gst. Gd. Oka (Penyaringan), IGst. Tulus (Singaraja), IGst. N. Badung (Patemon, Penyaringan). Ketika di Pengastulan menurunkan : I Gusti Ngurah Keropak (Punggawa Pengastulan II di Jero Lingsir), I Gusti Gelar leluhur IGst. Gede Wiasa di Merajan Dauh Pura Badung, IGst Banteng. 
  20. I Gusti Ngurah Keropak menurunkan : I Gusti Ngurah Mertakota (menjadi Punggawa Pengastulan III di Jero Lingsir), I Gusti Mineb leluhur I Gst. Ngurah Susanta. 
  21. I Gusti Ngurah Mertakota menurunkan : I Gusti Ngurah Supada (Punggawa Pengastulan IV di Jero Lingsir) dan I Gusti Teheng.
  22. I Gusti Ngurah Supada menurunkan : I Gusti Ngurah Meling/lngan (menjadi Punggawa Pengastulan V di Jero Lingsir). I Gusti Geradab, I Gusti Ngajon.
  23. I Gusti Ngurah Meling menurunkan : I Gusti Wayan Alab, I Gusti Ngurah Nyoman Rawos (menjadi Punggawa Pengastulan VI di Jero Lingsir).
  24. I Gusti Ngurah N. Rawos menurunkan : I Gusti Ngurah Wayan Rawos/Tjekrok (menjadi Punggawa VII di Jero Lingsir).
  25. I Gusti Ngurah Wayan Rawos menurunkan : I Gusti N. Geloh, I Gusti N. Mudarta, I Gusti K. Sibetan.
  26. I Gusti N. Geloh menurunkan : I Gusti Wayan Sandeh (Merajan Lingsir). I Gusti Mudarta menurunkan : I Gusti Gede (Merajan Alitan).

I Gusti Ketut Sibetan menurunkan : I Gusti Kekat (Merajan Alitan).

  1. I Gusti Wayan Sandeh menurunkan : I Gusti Made Kerug, I Gusti Made Intaran, I Gusti Ketut Sidia, I Gusti Ketut Sanur.
  2. I Gusti Nyoman Intaran menurunkan : I Gusti Ketut Weda, I Gusti Ketut Putru, I Gusti Ketut Sidia.

I Gusti Ketut Sidia menurunkan : I Gusti Putu Mangku, I Gusti Ketut Subhawa, I Gusti Ketut Sugata, I Gusti Ketut Suasta.

I Gusti Kekat menurunkan : I Gusti Made Oka, I Gusti Made Putra.

I Gusti Md Oka menurunkan : I Gusti Made Sonaka.

I Gusli Md Putra menurunkan : I Gusti Putu Wirata, I Gusti Made Sarta.

  1. I Gusti Putu Mangku menurunkan : I Gusti Made Suarya, I Gusti Nyoman Suartha, I Gusti Ketut Suarjana, I Gusti Ketut Suarjaya, I Gusti Ketut Suardaka.

I Gusti Ketut Subhawa menurunkan : I Gusti Ketut Sudarsana, I Gusti Ketut Maha Wibhawa.

I Gusti Ketut Sugata menurunkan : I Gusti Nyoman Sudarmika (alm.)

I Gusti Ketut Suasta menurunkan : I Gusti Gede Sudarmawan, I Gusti Made Ariawan

I Ketut Putru menurunkan : I Komang Suarjana, I Ketut Swadipa, I Mahayana, I Andayana.

I Gusti Made Sarta menurunkan : I Guti Putu Jinarka (alm), I Gusti Ketut Oka (alm).

I Gusti Ketut Putra (alm), I Gusti Ketut Sedana (alm), I Gusti Gede Wenten.

I Gusti Made Sonaka menurunkan : I Gusti Putu Suarjana, I Gusti Made Suardika, I Gusti Sugiarta (Bendi),

  1. I Made Suarya menurunkan : I Putu Gerhana Suaryaputra, I Made Baskara Suaryaputra, I Nyoman Brahma Suaryaputra, I Ketut Yogama Suaryaputra.

I Gusti Nyoman Suartha menurunkan : I Gusti Bagus Pranayoga, I Gusti Made Dwinanda Sidiartha, I Gusti Nyoman Doananda Samadiartha, I Gusti Ngurah Ketut Raharya Sidiaji.

I Ketut Suarjana menurunkan : I Ketut Arya Wibawa.

I Gusti Ketut Suarjaya menurunkan : I Gusti Bagus Arya Mahottama.

I Gusti Ketut Suardaka menurunkan : I Gusti Putu Maha Pujasream.

I Gusti Gede Sudarmawan menurunkan : I Gusti Sawita Ananda (alm), I Gusti Satya Arya Ananta, I Gusti Satya Arya Satwika Arka Ananta.

I Gusti Made Ariawan menurunkan : I Gusti Satyatma Pranaja Aryawan.

  1. I Gusti Bagus Putu Pranayoga menurunkan : I Gusti Bagus Satria Yogananda.I Gusti Made Gangga Raditiyasa, I Gusti Nyoman Ry Putra Pranayoga

I Gusti Made Dwinanda Sidiartha menurunkan : I Gusti Ngurah Bagus Waskita Dhaneswara, I Gusti Ngurah Made Anantawirya Yogeswara.


I Gusti Nyoman Doananda menurunkan : I Gusti Ngurah Devananda Bhakti Sadha


Pura Kawitan Pusat Sungsungan Tegehkori



Pesamuan Agung Nararya Dalem Tegehkori yang digelar pada tanggaL 9 September 2010 di Nusa Dua Badung menghasilkan bhisama tentang penetapan pura kawaitan yang menjadi pusat sungsungan warih Dalem Tegehkori. Ada dua pura penting yang ditetapkan menjadi pusat sungsungan yakni Pura Dalem Benculuk sebagai purusha dan Pura Batursari sebagai pradana. Kedua pura tersebut posisinya bersebelahan, di Kelurahan Tonja Denpasar. Pura Dalem Benculuk menghadap ke arah barat sesuai dengan garis edar matahari/surya dan bulan/candra yang bersifat aktif, sedangkan Pura Batursari menghadap kelod (selatan) sesuai dengan posisi kutub bumi/pertiwi yang bersifat statis.


Pesamuan Agung yang baru pertama kali digelar oleh Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegehkori (PANDBTK) pasca Mahasabha I Tahun 2009 itu juga juga menetapkan kewajiban warih Tegehkori untuk mempelopori penyederhanaan upacara Hindu di Bali. “Penyederhanaan” itu lebih dimaksudkan agar umat Hindu mampu bersaing mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di era kesejagatan ini sesuai dengan intisari kitab Weda tanpa meninggalkan tradisi loka dresta yang telah hidup sepanjang zaman. Penyederhanaan upakara dan upacara hendaknya disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Penyederhanaan menjadi solusi dasar agar potensi keuangan masyarakat Hindu di Bali bisa diarahkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Terkait dengan upakara/upacara dimaksud, Pesamuan Agung I juga menetapkan penggantian istilah tingkatan yadnya menjadi alit, madya agung, menggantikan istilah lama nista, madya, utama. Alasannya, dari kontek-bahasa, konotasinya sangat tidak baik, padahal semua upakara/upacara tujuannya baik/utama. Ternyata selama ini istilah nista amat mengganggu karena konotasinya dianggap rendah/hina. Dengan penggantian istilah ini umat Hindu khususnya di Bali bisa melaksanakan yadnya dengan baik tanpa harus dibayangi oleh beban perasaan besar kecilnya bebanten/upakara serta marak tidaknya rangkaian prosesi upacara. Sekretaris Jendral PANDBTK DR.Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III menegaskan perubahan ini akan berdampak pada kesetaraan hak azasi setiap orang dalam melaksanakan yadnya.


Pesamuan Agung I Tahun 2010 juga melahirkan keputusan tentang pedoman pelaksanaan upacara yadnya, yakni apa pun macam pelaksanaan yadnya itu agar umat selalu menjunjung etika terhadap sulinggih yang muput upacara. Wujud penghormatan terhadap sulinggih adalah bentuk pelaksanaa Rsi Yadnya yang terkait pula dengan Tri Rna dan Catur Guru.

Warih I Gusti Tegeh Kori


Menelusuri jejak sejarah leluhur yang telah terjadi dalam rentang waktu enam abad bukanlah pekerjaan gampang. Selain mesti didasari referensi yang cukup, seorang sejarahwan mesti memiliki wawasan kesejarahan yang luas dan mendalami secara matang suasana batin para leluhur sebagai pelaku sejarah berikut peristiwa kesejarahannya. Dengan kata lain seorang peneliti sejarah harus pandai terjun ke masa silam dan ia mesti sanggup menenggelamkan dirinya dalam lautan sejarah untuk kurun waktu yang tak terbatas. Tidak kalah pentingnya seorang sejarahwan harus mampu melakukan kajian secara obyektif dan komprehensif serta sejauh mungkin menghindari dorongan yang bersifal subyektif. Ia pun dituntut untuk senantiasa mengedepankan etika secara profesional. Penulis adalah bukan seorang sejarahwan.


Nama besar Tegehkori adalah sebuah nama yang cukup fenomenal di blantika sejarah Bali. Tegehkori menjadi sebuah daya tarik tersendiri dalam khasanah budaya di Bali. Keharuman nama raja Badung lima dinasti selama tiga abad (XV - XVII) yang sempat menjadi cerita misteri itu seakan tak lekang sepanjang zaman, meski hingga kini telah melintasi kurun sejarah sekitar enam ratus tahun. Dinasti Tegehkori beserta keturunannya sempat menghilangkan jejak dari sejarah Bali selama kurun waktu empat abad terakhir. Memasuki abad XXI tumbuh kesadaran beberapa orang warih yang peduli terhadap lelintihan, telah mencoba untuk mengungkap dan membukukan kesejarahan I Gusti Tegehkori.


Selama kurun lebih dari tiga abad (XVII - XX) seluruh paranti santana (keturunan) dinasti I Gusti Tegehkori nyineb prewangsa (menyembunyikan identitas kebangsawanan). Kini di abad XXI para damuh Ida mulai secara terbuka mengakui dirinya sebagai warih Ida Dalem. Organisasi khusus pasemetonan tingkat daerah dan nasional pun berhasil dibentuk oleh sejumlah tokoh Tegehkori pada tahun 2008. Mahasabha I Pasemetonan Ageng Tegehkori terselenggara pada tahun 2009 menghasilkan beberapa keputusan penting termasuk pengesahan kesejarahan Tegehkori. Hal-hal penting yang bersifat strategis mengenai hak dan kewajiban sameton Tegehkori juga berhasil dirumuskan dan diputuskan oleh Mahasabha I.


Masa kejayaan dinasti Tegehkori sebagai pendiri Kerajaan Badung berlangsung selama dua setengah abad (1390 - 1671 M). Awal masa suram diawali dengan peristiwa penyerangan oleh Ki Jambe Pule Merik bersama laskarnya mengobrak-abrik Puri Tegal Kutha. Sejak itu Raja Badung VI Gusti Tegeh Tegal Kutha beserta seluruh keluarga di kegelapan malam meninggalkan puri sejauh-jauhnya dan kemudian melepas status kebangsawanan. Hanya satu yang mereka bawa kesah (menyingkir) yakni sekotak rajapurana atau lebih dikenal dengan sebutan prasasti. Terbukti bahwa sejarah tidak akan pernah bisa terhapus selamanya dengan ditemukan catatan-catatan penting bernilai historis bahwa Kerajaan Badung yang terletak di wilayah selatan Pulau Bali pernah dipimpin oleh lima orang raja secara turun temurun dari satu dinasti I Gusti AnglurahTegehkori. Kerajaan Badung seperti juga beberapa kerajaan kecil lainnya di Bali berada di bawah naungan Dalem Bali. Pusat kerajaan Bali dinasti Dalem Shri Kresna Kepakisan pada mulanya berpusat di Puri Lingharsapura Samprangan Gianyar, kemudian berpindah ke Puri Swecapura di Gelgel dan terakhir Puri Semarapura di Klungkung. Hubungan Anglurah Badung dinasti Tegehkori dengan Dalem di masa itu berbeda dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Bali, karena selain menyangkut hubungan pemerintahan antara daerah bawahan dengan atasan juga pada kedua pihak memiliki kaitan genetis purusha. Hubungan purusha yang bersifat khusus dan permanen itu sejak zaman dulu hingga kini dan untuk seterusnya tetap abadi dan terjaga dengan baik.


Pusat pemerintahan kerajaan Badung dinasti Tegehkori I pada awal berdirinya berpusat di Tonja dan istananya disebut Puri Tonjaya. Diperkirakan pada masa pemerintahan berikutnya yakni ketika Badung diperintah oleh Anglurah Tegehkori II mulai dibangun istana baru yang kemudian diberi nama Puri Ksatria yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Putri Satria. Oleh karena kerabat puri terus-menerus berkembang-biak dari tahun ketahun maka di beberapa lokasi dibangun puri baru seperti di Tegal dan beberapa lokasi lainnya. Pasca ditinggalkan oleh Dinasti Tegehkori, Kerajaan Badung terus-menerus mengalami pergolakan berupa pertikaian perebutan kekuasaan peperangan antar kerajaan hingga peristiwa banjir darah dan air mata Puputan Badung. Anugerah Ida Bhatari Dewi Danu Batur berupa senjata cemeti dan tulup yang diterima Ki Jambe Pule menghantarkan beliau beserta keturunannya pada masa-masa kejayaan memerintah Kerajaan Badung sekaligus pula petaka yang menyertainya secara herois dengan semangat kepahlawanan.


Seluruh warih Ida Bhatara Tegehkori kini patut bersyukur memiliki leluhur yang pantas dipuja dan diteladani. Kawitan Tegehkori sebelum abiseka Raja Badung menerima anugerah bukan berwujud senjata namun berupa slepa (tempat sirih) berwarna keemasan dari Ida Bhatara Dewi Danu Batur. Rupa paica slepa dari Ida Bhatari itu jika dikaji secara mendalam mengandung makna filosofis yang amat luhur antara lain : tutug tuwuh artinya panjang usia. Pada masa silam para tetua yang melakukan tradisi nginang (menikmati sirih) hidupnya pada umumnya sehat-sehat dan kuat serta bertahan hidup lama. Terbukti selama lebih dua abad memerintah di Kerajaan Badung dipimpin oleh lima raja turun-temurun. Jika dirata-rata seorang raja semasa itu mampu memerintah selama kurun waktu 40 tahun. Makna slepa paica Ida Bhatari juga mengandung ilmu rahasia “mengecilkan” tubuh, sehingga Kawitan bisa masuk ke slepa dan jika diterjemahkan itulah ilmu pengetahuan kaprajnanan kawisesan kawaskitan lan kamoksan. Terubukti pula selama dua abad itu Gumi Badung mengalami zaman keemasan kerta raharja gemah ripah loh jinawi (kepemimpinan yang adil makmur aman sentosa dan bahagia) tidak pernah terjadi pergolakan kekuasaan dan peperangan.


Kendati pasca “kudeta” Kiyayi Jambe Pule Merik selama lebih tiga abad warih Tegehkori tercerai-berai di antero Bali dan Nusantara, namun kini seluruhnya telah dipersatukan kembali melalui Mahasabha I tahun 2009 oleh Pasemetonan Ageng Nararya Dalem Tegehkori. Pusat sungsungan Kawitan Tegekori adalah di Pura Dalem Benculuk/Badung (Purusha) dan Pura Batursari (Pradhana) genahpaica slepa Ida Bhatara Dewi Danu Batur (Ratu Gede Batursari) untuk memohon kesejahteraan. Setelah sukses pelaksanaan Mahasabha I tahun 2009 dilanjutkan dengan upacara Mewali ke Purusha Jati dengan menghaturkan upacara guru piduka lan bendu piduka, maka seluruh warih Ida Bhatara Dalem Tegehkori berhak menghaturkan bhakti ke hadapan Kawitan sane duwuran utawi lingsiran yakni Ida Bhatara Dalem Shri Kresna Kepakisan di Merajan Pedharman Puri Agung Klungkung dan di Pura Pedharman Dalem Shri Kresna Kepakisan di Besakih. Selain itu tidak kalah pentingnya bahwa semua warih pun dapat ngelungsur kajang kawitan langsung di Puri Agung Klungkung.

Gairah Pasemetonan Tegehkori

 

Kesadaran umat untuk memahami kesejarahan dan jatidirinya kian mengalami peningkatan dalam beberapa tahun belakangan ini. Fenomena ini dapat dimaklumi karena manusia Bali berkeyakinan bahwa urusan mekawitan amat penting dan terkait erat dengan pelaksanaan yadnya serta sradha yang ke empat dari Panca Sradha yaitu punarbhawa. Orang Bali umumnya berkeyakinan bahwa panumadian (punarbhawa) berlangsung secara turun-temurun mengikuti garis purusha. Krama Bali juga berkeyakinan bahwa kelahiran berhubungan mutlak dengan swakarma atau baik-buruknya perbuatan semasa hidup. Karma adalah penentu wujud panumadian, pada kehidupan berikut apakah akan menjadi manusia berderajat (nista, madya, utama) atau bahkan merosot secara linear sesuai dengan rahasia paingkelun menjadi : wong, sato, mina, manuk, taru, wuku. Hindu berkeyakinan bahwa hidup sebagai manusia sejatinya adalah kesempatan emas untuk mengikuti ujian dharma melawan adharma. Itulah sebabnya Hindu lebih mengutamakan kualitas bagi pemeluknya ketimbang kuantitasnya. Kesempatan lahir sebagai manusia adalah suatu anugerah yang tidak pantas disia-siakan. Ujian kehidupan adalah peperangan terbesar yang berlangsung dalam diri sendiri sebagaimana digambarkan dalam ephos Bharatayudha. Itulah sebabnya yadnya terhadap leluhur (kawitan) beserta segenap aspek kedewataan lainnya diyakini merupakan bagian terpenting dari pemujaan dan senantiasa bermuara pada Ida Sang Hyang Tunggal Paramakawi. Bhagawadgita yang diturunkan oleh Dewa Wisnu melalui manifestasi Bhatara Kresna sesaat menjelang Bharatayudha adalah pedoman hidup sejati dalam memenangkan dharma melawan adharma. Senjata mahottama untuk mencapai kemenangan menurut Bhagawadgita adalah Yoga.


Telah menjadi semacam keyakinan di kalangan krama Bali bahwa melupakan kawitan atau keliru menentukan kawitan purusha jati akan mengakibatkan penderitaan. Keyakinan seperti ini membikin krama ketakutan. Tidak sedikit krama mencoba telusuri lewat bermacam upaya. Kendala utama adalah ketiadaan sumber tertulis, apakah itu berupa waris babad, silsilah, prasasti atau purana. Para pendahulu yang tidak mewariskan lelintihan keluarga akibatkan kebingungan pada diri damuhnya. Kisah lelintihan yang diturunkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun dari tahun ke tahun dan bahkan dari abad ke abad tentu tidak akurat dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Apalagi dibumbui dengan kalimat “anak mula kenten kone nika”.


Menurut Bhagawadgita, bahwa penyebab utama penderitaan adalah kebodohan atau ketidaktahuan (awidya). Ketidaktahuan di sini maksudnya adalah terkait dengan ilmu dan pengetahuan. Mereka yang tidak mengenai ilmu dan pengetahuan akibatnya kebingungan (moha). Kebingungan sebabkan kemiskinan (papa). Kemiskinan berujung penderitaan (dukha).


Para leluhur seperti halnya ayah dan ibu sejatinya juga amat sayang terhadap keturunannya. Para damuh seyogianya tidak mengabaikan orang tua dan leluhurnya (guru rupaka). Jika melupakan,. maka para damuh disebut anak durhaka (alpaka). Rasa sayang terhadap leluhur dapat diwujudkan dalam bentuk yadnya (pitra yadnya atau dewa yadnya). Kendati beliau-beliau itu secara fisik mungkin sudah tidak nampak secara kasatmata karena sudah kembali ke sunya loka, namun keberadaan para leluhur diyakini tetap ada di niskala dan senantiasa menaungi seluruh damuhnya. Hubungan vertikal antara damuh dengan leluhur bersifat abadi dan tentunya saling mengasihi.


Kini terkait dengan munculnya beberapa organisasi pasemetonan mungkin dapat ditafsirkan sebagai wujud saling mengasihi antar sesama damuh secara horizontal. Fenomena ini cukup menarik lantaran masing-masing organisasi pasemetonan itu secara kuantitatif memiliki anggota dalam jumlah relatif banyak. Organisasi pasemetonan Pasek saat ini memiliki anggota terbanyak. Disusul pasemotonan Dalem Badung I Gusti Tegehkori Kresna Kepakisan yang baru belakangan ini terbentuk dengan jumlah anggota mencapai ratusan ribu jiwa tersebar di seluruh Tanah Air. Mungkin jika pada suatu saat nanti organisasi pasemetonan Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan terbentuk dan organisasi pasemetonan Tegehkori masuk di dalamnya, maka jumlah anggotanya akan menjadi yang terbesar. Atau bahkan akan menjadi berlipat-lipat jumlah keangotaannya jika nanti organisasi Tegehkori bernaung di bawah organises induk pasemetonan Mpu Bradah. Itu pun jika ada yang sanggup merintis pembentukannya.


Kegairahan baru pun muncul seiring dengan berdirinya organisasi yang diberi nama Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegehkori. Para perintisnya kini duduk menjadi pengurus organsasi pusat dengan ketua umumnya Brigadir Jendera Polisi (Purnawirawan) Nyoman Gede Suweta kelahiran Desa Gobleg Buleleng. Kurang dari tempo setahun sejak berdirinya organisasi ini sudah sanggup menyelenggarakan Mahasabha I pada bulan Oktober 2009 dan menghasilkan sejumlah keputusan strategis menyangkut hal-hal yang amat dibutuhkan warganya. Disadari atau tidak, keberadaan organisasinya ini amat penting terutama berkaitan dengan hak dan kewajibar warga Tegehkori baik secara sekala maupun niskala. Salah satu momen penting terkait hasil Mahasabha I adalah terselenggaranya upacara Mewali ke Purusha Jati. Upacara ini mengandung makna penting kembalinya trah Tegehkori ke purusha yang sesungguhnya yakni Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan. Sebagaimana telah diungkapkan dalam babad pada bagian awal buku ini bahwa I Gusti Tegehkori I Raja Badung I lewat suatu goro-goro di paseban Puri Lingharsa di Samprangan pernah diangkat anak (kadanaputra) oleh Arya Kenceng seorang patih Bali yang diberi mandat oleh Dalem menjadi penguasa di Tambangan (Tabanan). Gorogoro di istana itu menyebabkan I Dewa Anom Pemayun harus pasrah menerima nasib terbuang dari pelukan ayah-bunda beliau ketika baru menginjak usia 11 bulan, serta nama beliau pun diganti oleh ayahanda tercinta Dalem, menjadi I Gusti Tegehkori. Setelah lebih enam abad berlalu dan sudah mencapai 18 generasi serta ketika kini telah memuncak kesadaran para damuh Ida untuk untuk kembali ke jati diri yang sejati-jatinya sesuai aliran darah genetis leluhur, maka upacara Mewali ke Purusha Jati yang telah terselenggara selama dua hari pada hari Jumat Paing hingga Sabtu Pon tanggal 16 dan 17 Oktober 2009 yaitu dua hari menjelang piodalan Pemacekan Agung Pura Dalem Badung di Benculuk Tonja Denpasar telah menjadi catatan emas dalam sejarah Tegehkori di era kesejagatan sekarang.


Upacara di awali dengan mapiuning lan pakemitan di Pura Dalem Badung/Benculuk dan Pura Batursari, lantas mapiuning di Pemerajan Agung Satria, menghaturkan upakaru guru piduka dan bendu piduka di Merajan Bhatara Arya Kenceng di Buahan Tabanan Aipuput oleh Ida Pandita Sri Bhagawan Yoga Wiswa dari Gria di Banjar Paket Agung Singaraja, mapiuning di Pura Agung Samprangan Gianyar, menghaturkan upakara guru piduka lan bendu piduka mwah mawali ka purusha jati di Merajan Pedharman Ida Bhatara Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan Puri Agung Klungkung dipuput Ida Pedanda di Semarapura Klungkung, mapiuning di Merajan Puri Gelgel, mapiuning di Pura Dasar Bhuana Gelgel, mapiuning di Pura Ulun Danu Batur Songan Kintamani Bangli dilanjutkan upacara pakelem di Danau Batur tepat tengah malam pukul 00.00 dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pasemetonan Agung Tegehkori DR.Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakama MWS. Puncaknya adalah di Besakih yakni upacara mapiuning di Pedharman Arya Kenceng, upacara guru piduka lan bendu piduka mwah mawali kapurusha jati di Pedharman Ida Bhatara Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan dipuput oleh Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Kerthi dari Gria Lebah Siung di Anturan Buleleng bersama Ida Pandita Sri Bhagawan Agni Sila Dharma Biru Daksa dari Geria di Bantiran Tabanan, dilanjutkan dengan pembacaan keputusan-keputusan Mahasabha I, serta diakhiri dengan menghaturkan puja suci bhakti di Penataran Agung Besakih. Peserta yang ikut dalam prosesi Mewali ke Purusha Jati itu terdiri atas para pengurus Pasemetonan Tegehkori dari semua kabupaten se Bali beserta para bhakta warih Dalem. Prasasti dan pratima dari Pura Batursari Tonja, Jembrana, Denpasar dan Singaraja ikut ngiringang Ida Bhatara Dalem Badung Tegehkuri lunga ke seluruh pura dimaksud.


Rangkaian panjang upacara Mewali ke Purusha Jati dimaksud mengandung makna yang am at mendalam sebagai tonggak bersejarah kembalinya secara resmi Ida Bhatara Kawitan Tegehkori beserta seluruh damuh Ida ke pangkuan Ida Bhatara Purusha Jati Shri Aji Dalem Kresna Kepakisan di Klungkung. Dengan mewalinya trah Tegehkori ring Puri Agung Klungkung sekaligus dengan pengakuan resmi Penglingsir Puri Agung Klungkung Ida Dalem Semarapura (walaka Ir.Tjokorda Gde Agung, SP) maka resmi pula tersambungnya kembali pasemetonan Tegehkuri dengan Puri Agung Klungkung di Semarapura. Terselenggaranya seluruh rangkaian upacara tersebut tidaklah lantas menjadikan terputus sama sekali hubungan kekerabatan dengan pihak Puri Buahan beserta pesemetonan Arya Kenceng lainnya. Hubungan kekeluargaan kekerabatan serta kerja sama dalam berbagai bidang akan terns dilanjutkan di masa-masa mendatang guna memperkuat nilai-nilai budaya spiritual dan lain sebagainya, sebagaimana telah terjalin dengan baik selama ini.

Tentang Penulis

  Penulis     Drs. I Gusti Nyoman Suartha Kelahiran Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt Kab. Buleleng, 23 Oktober 1952, Pendidikan Insti...