Minggu, 06 September 2020

Tentang Penulis

 

Penulis


 

 Drs. I Gusti Nyoman Suartha Kelahiran Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt Kab. Buleleng, 23 Oktober 1952, Pendidikan Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta 1984, Pensiun PNS Pemkab Buleleng Nopember 2008, penekun sejarah dan spiritual, Penyusun Kalender Bali sejak tahun 1999, Ayah I Gusti Putu Mangku, Ibu I Gusti Ayu Nyoman Kuntri, Istri Ni Wayan Suri (Jero Suri) kelahiran Juwuk Legi Baturiti Tabanan, anak I Gusti Bagus Putu Pranayoga, SE.Ak, I Gusti Made Dwinanda Sidiartha,SE.MM, I Gusti Nyoman Doananda Samadiartha.SE, I Gusti Ayu Ketut Sidianthari, I Gusti Ayu Ketut Wiraswaryani, I Gusti Ngurah Ketut Raharya Sidiaji, Menantu Kadek Fitri Purnami (Jeru Purnami), I Gusti Ayu Primayanti,S.Si., Kadek Arie Wahyuning, S.Pd (Jero Arie), cucu I Gusti Bagus Putu Satria Yogananda, I Gusti Ngurah Bagus Waskita Dhaneswara, I Gusti Ngurah Made Anantawirya Yogeswara, I Gusti Ngurah Devananda Bhakti Sadhana, Saudara kandung I Gusti Ayu Putu Suarni,SPd, I Made Suarya,SE.Ak.MM, I Gusti Ayu Ketut Suartini, I Gusti Ayu Ketut Suardani, I Gusti Ketut Suarjana,SH, Dr. I Ketut Suarjaya,MPH, I Gusti Ayu Ketut Suartari,SPd, I Gusti Ketut Suardaka.SE, I Gusti Ayu Ketut Suaryani, I Gusti Ayu Ketut Suarsari, I Gusti Ketut Suarningsih.


Alamat:

Jalan Cempaka No. 12 Singaraja Bali,

E-mail: nyomansuartha52@yahoo.com

Hp 081 353 231 467 / 087762841952


FALSAFAH BELAJAR SEUMUR HIDUP

Hidup adalah belajar


Belajar bersyukur meski tak cukup

Belajar memahami meski tak sehati

Belajar ikhlas meski tak rela

Belajar bersabar meski tak mampu

Belajar dari pengalaman meski tak menyenangkan

Belajar menjadi lebih baik untuk menjadi yang terbaik

Belajar untuk diam dari banyaknya bicara

Belajar untuk tenang dari sebuah kemarahan

Belajar untuk mengalah dari sebuah keegoisan

Belajar untuk tetap tegar dari setiap kehilangan

Belajar untuk selalu tabah dari setiap keadaan


Maka dari itu tetaplah belajar

Untuk tetap berada di jalan yang benar


“Orang yang paling bahagia

tidak selalu harus memiliki yang terbaik dalam hidupnya

tetapi selalu berusaha untuk menjadikan setiap apa pun

yang hadir dalam hidupnya menjadi yang terbaik”



DAFTAR KEPUSTAKAAN


(1) Ketut Sidia : Silsilah dan Autobiografi. (2) Ketut Putru: Babad Arya Dalem Benculuk, (3) Made Lila ; Terjemahan Babad Arya Dalem Benculuk. (4) Ktut Soebandi: Pedanda Sakti Wawu Rawuh, Asal-usul Peninggalan dan Keturunannya, (5) Gedong Kirtya : Babad Arya Tabanan, (6) I Made Suarsa : Geguritan Kebo Tarunantaka (Pralinaning Bali Pulina), (7) I Nyoman Kantun,SH,MH, Drs. I Ketut Yadnya : Babad Sidakarya. (8) Drs.K.M.Suhardana : Babad Nyuhaya. (9) I.B.Suparta Ardhana : Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia. (10) A.A.Anom Sudira Pering : Maha Gotra Arya Tri Sanak (Arya Bang Wayabaya, Arya Bang Pinatih, Arya Bang Sidemen). (11) Gde Soeka.SH : Tri Murti Tatwa, (12) Ida Bagus Putu Purwita : Seorang Brahmana Sidakarya, (13) Nyoman Wista Darmada, Made Gede Sutama : Asal-usul Warga Pande di Bali, (14) Ktut Soebandi : Pure Kawitan/Padharman dan Panyungsungan Jagat, (15) dr.Soegianto Sastridiwiryo : Perang Jagaraga (1846-1849), (16) Anak Agung Gde Putra Agung : Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali Utara, (17) dr.Soegianto Sastrodhiwiryo Perang Banjar (1868), (18) Pemerintah Kabupaten Klungkung : Sejarah Klungkung (Dari Semarapura sampai Puputan), (19) I Nyoman Supatra : Ki Balian Batur, Guru Aji Pengiwa. (20) Ktut Soebandi : Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, (21) A.A.Anom Sudira Pering : Dalem Tarukan (Derita Pengabdian dan Keturunan), (22) Aco Manafe: DR.Ide Anak Agung Gde Agung, Keunggulan Diplomasinya Membela Republik, (23) I Gusti Bagus Sugriwa : Hari Raya Nyepi, Ciwa Buddha Binneka Tunggal Ika, (24) Drs.K.M.Suhardana : Sejarah dan Babad Keloping, (25) Ngurah Nala : Perjuangan Rakyat Bondalem (Zaman Jepang, Perang Kemerdekaan dan Pasca Perang Kemerdekaan, (26) Ida Bagus Gede Agastya : Eka Dasa Rudra Eka Buana, (27) Biro Humas Setprop Bali : Karya Agung Panca Bali Krama, (28) jro Mangku Made Buda : Babad Nusa Penida, (29) Drs. I Ketut Wiana : Mengapa Bali disebut Bali?, (30) Megandara W. Kawueyan : Tata Pemerintahan Negara Kertagama, Kraton Majapahit. (31) Drs. Suwardono : Candi Singosari, (32) Dinas Pendidikan Dasar Prop Bali : Kamus Kawi - Bali. (33) Departemen Pendidikan & Kebudayaan ; Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, (34) Drs.I Nyoman Singgin Wikarman : Leluhur Orang Bali, Dari Dunia Babad, (35) Ktut Soebandi : Berbakti Kepada Kawitan (Leluhur) adalah Paramo Dharmah, (36) Prof.DR.I Gusti Ngurah Gorda.MS.MM : Kepemimpinan Ki Barak Panji Sakti, Dalam Perspektif Era Kesejagatan, (37) Ir.Ketut Buda.SU : Keturunan Dalem Sukawati di Bubunan, (38) Dinas Pekerjaan Umum Prop Bali: Rumusan Arsitektur Bali, (39) A.A. Bagus Wirawan : Pura Dasar dan Sweca Linggarsa Pura, (40) Pemerintah Prop Bali: Sejarah Perang Jagaraga, (41) Ida Wayan Oka Granoka : Reinkarnasi Budaya, (42) Markas Daerah Legiun Veteran RI Prop Bali: Sekilas Sejarah Perjuangan Letkol I Gusti Ngurah Rai (Puputan Margarana), (43) Nyoman S. Pendit : Bali Berjuang, (44) I Gusti Bagus Meraku Tirtayasa : Bergerilya Bersama Ngurah Rai, (45) IBG.Agastya : Di Kaki Pulau Bali. Sejumlah Esai Sastra, (46) Ketut Wiana & Raka Santri : Kasta dalam Hindu, Kesalahpahaman Berabad-abad, (47) I Made Sutaba dkk : Manfaat Sumberdaya Arkeologi untuk Memperkokoh Integritas Bangsa, (48) Dinas Kebudayaan Propinsi Bali : Pura Goa Lawah, (49) I Ketut Ginarsa : Ekspedisi Gajah Mada ke Bali, DR. Soekmono : Candi Borobudur, (50) Putu Kusmada,BA : Tugu Bhuwana Kerta, di Desa Panji Buleleng, (51) IGB Meraku TY : Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Buleleng 1945-1950, (52) Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647, (53) Kumpulan Kliping Koran dan Majalah, (53) Silsilah Raja Panji Sakti, (54) Ktut Soebandi & DR.I Wayang Mertha Sutedja Silsilah Pasek Sana Sapta Rsi, (55) Kanjeng Raden Tumengung Purwosaputro (Raden Bamang Eko) : Asa-usul Raja-raja di Jawa, (56) Anger WRS : Silsila Raja-raja Kerajan Kutei, Tarumanegara, Kalingga, Mataram I, Medang/Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Jayakarta, Banten, Cirebon, Pajang, Matara, Kartosuro, Surakarta, Yogyakarta, (57) Angger Gemilang : Silsilah Raja-raja Jawa Barat, Sunda – Galuh, Pajajaran, (58) Made Kembar Krepun : Masalah Kasta, 59 IGusti Bagus Sugriwa : Babad Pasek, Sejarah Dalem Benculuk Tegehkori - PANDBTK 2012.


Misteri Kajang Kawitan Dalem



Peristiwa unik dan penuh misteri terkait Kajang Kawitan Dalem (paspor niskala) terjadi di Jero Lingsir Tegehkori Mangku Pabean di Pengastulan pada rahina Anggara Paing Pujut 2 Agustus 2011. Hari penting yang cukup bersejarah itu dipilih sesuai pawuwus yang didapat oleh pengageng Jero Lingsir yakni I Made Suarya. Kendati pada awalnya ada usulan internal agar jadwal upacara diundur berhubung secara mendadak Dadia Jero Lingsir akan menyelenggarakan pengabenan almarhum I Gusti Putu Astina. Namun berdasar hasil musyawarah, maka upacara Ngaturang Swadharma Asia Rna Kajang Kawitan Dalem jalan terus karena Kajang Kawitan Dalem dari Puri Agung Klungkung telah lebih dulu di-pendak.


Pada siang harinya sesuai jadwal yang telah disepakati, diawali dengan upacara mapiuning di Kahyangan Tiga. Menjelang sore hari dilakukan upacara nangiang leluhur di Paibon Merajan Lingsir, dipimpin oleh Jero Mangku Pabean I Ketut Putru. Para pemangku yang mendampingi terdiri atas pemangku Kahyangan Tiga, pemangku Pura Ageng, pemangku Pura Badung, Kelian Desa Pakraman Jero Mangku Made Sadra dan Jero Bendesa Lingsir Nyoman Dana. Di Paibon para damuh memohon perkenan leluhur sebanyak delapan tingkatan metangi guna di-iring lunga ke pantai SegaraTanah Selaka untuk prosesi Pamurtian Pitara Rna - Kajang Kawitan. Sesuai dengan garis silsilah Jero Lingsir, terhitung ada sebanyak delapan tingkatan generasi yang belum mabusana Kajang Kawitan Dalem saat prosesi pengabenen selama periode tiga abad silam, yakni generasi abad XVIII - XX. Para damuh meyakini bahwa ada sesuatu yang sempat terlupakan, yakni masih adanya leluhur yang belum sempat mewastra rurub Kajang Kawitan Dalem saat diaben pada beberapa periode pengabenan selama lebih dari dua abad yang silam. Nah, agar tidak selamanya menjadi "hutang" (rna) terhadap para pitara (pitara rna) maka generasi sekaranglah yang diberi mandat oleh leluhur untuk menjalankan upacara yang amat penting ini.


Upacara sakral di pesisir Segara Tanah Selaka itu diiringi gamelan gong dan gending-gending Dewa Yadnya beserta doa mantram dan harumnya kepulan asap dupa. Seluruh warga Dadia Jro Lingsir larut dalam doa dan sembah yang khusuk memohon ke hadapan para Dewa dan Bhatara Kawitan, semoga upacara barlangsung dengan lancar dan selamet. Puncak upacara dilakukan dengan menghaturkan Kajang Kawitan Dalem ke hadapan leluhur lewat prosesi ngeseng. Satu-persatu lembaran-lembaran kain putih merajah aksara-aksara suci paican Ida Mangku Merajan Agung Dalem Semaraputra di Klungkung dipersembahkan oleh para damuh ke hadapan para leluhur. Pamurtian Kajang Kawitan Dalem mengandung sebuah makna "pengakuan sejati" bahwa para leluhur adalah benar-benar keturunan genetis (damuh pratisantana) Kawitan Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan / Dalem Wau Rauh). Perlu dicatat, bahwa peristiwa langka ini hanya bisa terjadi karena damuh periode sekarang ini telah melaksanakan upacara agung “Mawali ka Purusha Jati” serangkaian Mahasabha Pasemetonan Agung Tegehkori tahun 2009. Tanpa didahului dengan upacara mahottama “Mawali ka Purusha Jati” tidaklah mungkin upacara besar ini bisa terlaksana. Inilah sebuah isyarat alam, pituduh Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang tidak sembarang orang bisa mencerna dengan pikirannya. Namun keluarga besar Jero Lingsir saat itu telah mendapat kehormatan utama untuk menyelenggarakan upacara yang dapat disejajarkan dengan agnihotra atau homa, lewat upacara tawur agung Asta Rna Kajang Kawitan Dalem.


Abu kajang yang tersisa lantas di-pralina ke laut lepas seiring dengan mapasucian-nya para leluhur ring sarining amerta segara. Usai mapendak lan ngedetin, maka para leluhur diiring mewali masthana di Paibon Merajan. Suasana upacara hingga petang hari itu terekam penuh haru bercampur bahagia. Seluruh damuh paratisantana merasa plong hatinya, karena langsung merasa terlunasi Pitara Rna-nya yang selama ini membebani bak mendung kelabu menggelayut di dalam kalbu.


Kembali ditegaskan, bahwa upacara yang tergolong mahottama di Jero Lingsir Pengastulan itu tidak terlepas dari mata rantai upacara Mawali ka Purusha Jati Ida Bhatara Kawitan Tegehkuri ke Bhatara Shri Dalem Bangsul (Bali) yakni ayahanda sejati beliau Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan/Dalem Samprangan. serangkaian Mahasabha Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegehkori tahun 2009. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri sebagai jawaban alam atas sejumlah keputusan strategis yang dihasilkan oleh Mahasabha I yang telah bergaung hingga ke niskala loka.


Sebagai kelanjutan dari upacara tadi, maka seluruh keturunan Jero Lingsir hendaknya jangan sampai melupakan mendak Kajang Kawitan Dalem manakala hendak melaksanakan upacara palebon/ ngaben. Resikonya akan sangat besar jika sampai salah nunas Kajang Kawitan, misalnya nunas ke tempat lain. Kajang Kawitan yang tidak sesuai dengan swadharmanya akan membawa akibat tidak baik bagi kelangsungan hidup anak-cucu di kemudian hari. Demikian pula resiko yang tergolong amat berbahaya juga sudah tentu akan dialami oleh damuh purusha yang berani nilar agama. Seluruh warga dadia Jero Lingsir harus selalu eling. Hanya sebatas keliru saja menggunakan Kajang Kawitan membawa akibat kelak terancam suatu masalah besar. Apalagi sampai berani meninggalkan Agama Hindu yang dianut secara turun-temuran, pasti dan pasti yang bersangkutan terkena kutuk pastu dari para leluhur dan kawitan. Hal ini harus dicamkan baik-baik oleh damuh yang hidup sekarang. Jika sementara ini ada damuh purusha yang telah telanjut nilar Agama Hindu, segeralah sadar, kembalilah ke agama leluhur yang paling mulia ini. Ingat! resikonya amat berat. . . "engkau dikutuk oleh leluhur, engkau tidak akan menemui kebahagiaan seketurunanmu... (camkan isi Babad).



ASUNG KERTA WARANUGERAHA IDA SANG HYANG WIDHI WASA Alasan sebagian Krama Dadia Jero Lingsir Pengastulan

kembali menggunakan I Gusti :


  1. Surat Keputusan Mahasabha I Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegeh Kori, Nomor : 02/MHSB.I/PANDBTK.BALI/IX/2009 Tentang Bhisama dan Catur Swadharmaning Ksatrya Dalem; tertanggal 9 September 2009;
  2. Memenuhi amanat / pawuwus Ida Bhatara Kawitan Dalem Tegehkuri menjelang upacara pengabenan I Gusti Made Lila pada tahun 1980, pakeling niskala I Gusti Nyoman Sudarmika pada tahun 1994, serta sesaudan Jero Mangku Dr. I Gusti Ketut Suarjaya di Merajan Kemulan pada tahun 2011;
  3. Memenuhi kehendak para leluhur Jero Agung Pengastulan yang sempat tertunda sejak Indonesia Merdeka 1945 yakni I Gusti Putu Anom, I Gusti Ketut Gede, I Gusti Ketut Mardi serta Kombes. Pol. I Gusti Ngurah Oka dan I Gusti Ngurah Teken pada tahun 1955, menyusul kemudian I Gusti Made Hasti tahun 1985 untuk mengajak kembali para saudara sepurushanya di Jero Lingsir menyandang sebutan I Gusti;
  4. Ikut serta melaksanakan Upacara "Mawali ka Purusha Jati"' pada Jumat Paing dan Sabtu Pon 16-17 Oktober 2009 yakni kembalinya Ida Bhatara Kawitan Dalem Tegehkuri ke Purusha Genetis Ida Bhatara Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan. dilanjutkan dengan Upacara Pawintenan IGusti Ayu Nyoman Kuntri, IGusti Nyoman Suartha dan Jero Ni Wayan Suri di Merajan Agung Puri Agung Klungkung saat Nyejer Piodalan pada Saniscara Paing Merakih 20 Oktober 2012 disaksikan oleh Ida Dalem Semara Putra.


Maksud dan Tujuan kembali menyandang sebutan IGusti adalah :

  1. Maksudnya : adalah untuk menegakkkan kembali warisan Sejarah Kawitan beserta Silsilah Leluhur yang telah disusun secara relatif lengkap oleh Drs. IGusti Nyoman Suartha ke dalam sebuah buku bertajuk : "Sejarah MAWALI KA PURUSHA JATI Bhatara Dalem Benculuk IGusti Tegehkuri - Pendiri Kerajaan Badung, Mendirikan Pura Badung Pengastulan-Buleleng" (catatan: buku tersebut tersebar luas sejak tahun 2009);
  2. Tujuannya : adalah untuk mewujudkan kesejateraan lahir dan batin (sekala & niskala).


Upacara lanjutan terkait kembalinya menyandang sebutan IGusti :

  1. Upacara Mapiuning di Merajan Jero Lingsir Pengastulan pada Anggara Kliwon (Kasih) Perangbakat 25 Juni 2013 bertepatan dengan Rerahinan Kawitan di Merajan Meru Tumpang Tiga;
  2. Upacara Mapiuning di Pura Badung Pengastulan pada Wrespati Paing Perangbakat 27 Juni 2013 saat Upacara Nyejer Piodalan Ageng Ida Bhatara Kawitan di Pura Badung;
  3. Upacara Mapiuning di Kahyangan Tiga dan Pura Ageng Pengastulan.
  4. Upacara mapiuning di beberapa pura penting lainnya yang terkait di Bali.


Motto :

"...hargailah orang lain sebagaimana engkau menghargai dirirmu sendiri..."


Singaraja, 12 Juni 2013 

Pengageng Jero Lingsir Pengastulan

Kutipan Silsilah Dadia Jero Lingsir Pamerajan I Gusti Made Lila



17. I Gusti Tegehkori VII menjadi Punggawa Pengastulan I menurunkan : I Gusti Ngurah Keropak (Punggawa Pengastulan II di Jero Lingsir), I Gusti Gelar, I Gusti Banteng. Ketika di Puri Satria Badung menurunkan IGst.Ayu Genjot kawin ke Puri Mengwi, IGst.Ngr.Raden mendirikan Puri Jro Kuta di Denpasar, IGst. Tulus menetap di Patemon, IGst. Gd. Oka dan IGst.Nyoman Badung menetap di Penyaringan Jembrana.

18. I Gusti Gelar menurunkan : I Gusti Jejer.

19. I Gusti Jejer menurunkan : I Gusti Tulus Haji.

20. I Gusti Tulus Haji menurunkan : I Gusti Tulus Oka.

21. I Gusti Tulus Oka menurunkan : I Gusti Nuradi.

22. I Gusti Nuradi menurunkan : I Gusti Widi.

23. I Gusti Widi menurunkan : I Gusti Djandji beliau adalah Pemangku Pura Badung yang menetap di sisi barat Badung Pura Badung mendirikan merajan alitan.

24. I Gusti Djandji menurunkan : I Gusti Sirna.

25. I Gusti Sirna menurunkan : I Gusti Putu Radjeng, I Gusti Made Lila, I Gusti Ketut Djelantik, I Gusti Rombia.

26. I Gusti Made Lila menurunkan : I Gusti Gede Wiasa, I Gusti Putu Astina.

I Gusti Ketut Jelantik menurunkan : I Gusti Ketut Wedra, I Gusti Ketut Wita.

27. I Gusti Gede Wiasa menurunkan : I Gusti Bagus Putra Sanjaya (alm.), I Gusti Komang Ngurah Santosa.

I Gusti Putu Astina menurunkan : I Gusti Putu Surya Dharma

I Gusti Ketut Wedra menurunkan : I Gusti Ketut Arianta, I Gusti Ketut Ariadi.

28. I Gusti Komang Ngurah Santosa menurunkan : I Gusti Putu Arya Ananda Adi Nugraha Santosa, I Gusti Kadek Arya Anggra Saputra Santosa.

Kutipan Silsilah Dadia Jero Lingsir Mangku Pabean Pengastulan

 


  1. Sang Hyang Pasupati menurunkan : Bhatara Hyang Tugu (Andakasa), Bhutara Hyang Putra Jaya (Tolangkir), Bhatara Dewi Danu (Batur), Bhatara Hyang Geni Jaya (Lempuyang), Bhatara Hyang Manik Galang (Pejeng), Bhatara Hyang Manik Gumawang (Beratan), Bhatara Hyang Tumuwuh (Batukaru)
  2. Sang Hyang Geni Jaya menurunkan: Mpu Withadharma (Shri Mahadewa)
  3. Mpu Witadharma menurunkan : Mpu Wiradharma (Mpu Bhadjrastawa), Mpu Radjakena (Mpu Dwidjendra).
  4. Mpu Badjrastawa menurunkan: Mpu Tanuhun
  5. Mpu Tanuhun menurunkan: Mpu Agnidjaja (Lempuyang Madya), Mpu Semeru (Besakih), Mpu Ghana (Gelgel), Mpu Kuturan (Padangbai), Mpu Bradah (Lemah Tulis Pejarakan, Silayukti, Merajan Kanginan Besakih)
  6. Mpu Bradah menurunkan : Mpu Bahula, Mpu Siwagandu, Ni Dyah Widawati
  7. Mpu Bahula menurunkan : Ni Dewi Amerta Mangali, Ni Dewi Amerta Djiwa, Ni Dewi Dwararika, Mpu Tantular; Ni Dewi Adnjani.
  8. Mpu Tantular menurunkan : Danghyang Kepakisan, Danghyang Semaranatha, Danghyang Sidhimantra, Danghyang Panawasikan.
  9. Danghyang Kepakisan menurunkan : Shri Soma Kepakisan.
  10. Shri Soma Kepakisan menurunkan : Shri Juru (Blambangan), Shri Bima Sakti (Pasuruan), Shri Istri Kepakisan (Sumbawa), Shri Aji Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan I).
  11. Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan menurunkan : Dewa Tarukan, Dewa Ayu Wana, Dewa Agra (Dalem Samprangan II), Dewa Ketut Ngulesir (Dalem Gelgel I), Dewa Tegal Besung, I Dewa Anom Pemayun.
  12. I Dewa Anom Pemayun ganti nama menjadi I Gusti Tegehkori (kedarmaputra Arya Kenceng) kemudian menjadi Raja Badung Dinasti Tegehkori I di Benculuk Tonja.
  13. I Gusti Tegehkori I menurunkan : I Gusti Tegehkori II (Raja Badung II di Satria), Arya Tegehkori (Tonja), Arya Tegeh Pakuwon (Panjer).
  14. I Gusti Tegehkori II menurunkan : I Gsti Tegehkori III (Raja Badung III di Puri Satria), Arya Tegehkori (Puri Tegal, Bingan, Buagan, Suwung, Kalungu Kelod).
  15. I Gusti Tegehkori III menurunkan : I Gusti Tegehkori IV (Raja Badung IV di Tegal), I Gusti Tegehkori (Kuta, Jimbaran, Serangan, Banjar Tegal Singaraja, Suwung, Tinggan Petang, Belahkiuh).
  16. I Gst Tegehkori IV menurunkan : I Gst Tegehkori V (Raja Badung V di Puri Tegal Kutha).
  17. I Gusti Tegehkori V menurunkan I Gusti Tegehkori VI yang kemudian menyingkir ke Gianyar mendirikan Puri Tegal Tamu.
  18. I Gusti Tegehkori VII yang lahir di Puri Satria menyingkir ke Denbukit menjadi Punggawa Pengastulan I atas restu Raja Panji Sakti II. 
  19. I Gsti Tegehkori VII menurunkan IGst.Ngr Raden (Puri Jero Kuta), IGst. Ayu Maimba (kawin ke Puri Mengwi), I Gst. Gd. Oka (Penyaringan), IGst. Tulus (Singaraja), IGst. N. Badung (Patemon, Penyaringan). Ketika di Pengastulan menurunkan : I Gusti Ngurah Keropak (Punggawa Pengastulan II di Jero Lingsir), I Gusti Gelar leluhur IGst. Gede Wiasa di Merajan Dauh Pura Badung, IGst Banteng. 
  20. I Gusti Ngurah Keropak menurunkan : I Gusti Ngurah Mertakota (menjadi Punggawa Pengastulan III di Jero Lingsir), I Gusti Mineb leluhur I Gst. Ngurah Susanta. 
  21. I Gusti Ngurah Mertakota menurunkan : I Gusti Ngurah Supada (Punggawa Pengastulan IV di Jero Lingsir) dan I Gusti Teheng.
  22. I Gusti Ngurah Supada menurunkan : I Gusti Ngurah Meling/lngan (menjadi Punggawa Pengastulan V di Jero Lingsir). I Gusti Geradab, I Gusti Ngajon.
  23. I Gusti Ngurah Meling menurunkan : I Gusti Wayan Alab, I Gusti Ngurah Nyoman Rawos (menjadi Punggawa Pengastulan VI di Jero Lingsir).
  24. I Gusti Ngurah N. Rawos menurunkan : I Gusti Ngurah Wayan Rawos/Tjekrok (menjadi Punggawa VII di Jero Lingsir).
  25. I Gusti Ngurah Wayan Rawos menurunkan : I Gusti N. Geloh, I Gusti N. Mudarta, I Gusti K. Sibetan.
  26. I Gusti N. Geloh menurunkan : I Gusti Wayan Sandeh (Merajan Lingsir). I Gusti Mudarta menurunkan : I Gusti Gede (Merajan Alitan).

I Gusti Ketut Sibetan menurunkan : I Gusti Kekat (Merajan Alitan).

  1. I Gusti Wayan Sandeh menurunkan : I Gusti Made Kerug, I Gusti Made Intaran, I Gusti Ketut Sidia, I Gusti Ketut Sanur.
  2. I Gusti Nyoman Intaran menurunkan : I Gusti Ketut Weda, I Gusti Ketut Putru, I Gusti Ketut Sidia.

I Gusti Ketut Sidia menurunkan : I Gusti Putu Mangku, I Gusti Ketut Subhawa, I Gusti Ketut Sugata, I Gusti Ketut Suasta.

I Gusti Kekat menurunkan : I Gusti Made Oka, I Gusti Made Putra.

I Gusti Md Oka menurunkan : I Gusti Made Sonaka.

I Gusli Md Putra menurunkan : I Gusti Putu Wirata, I Gusti Made Sarta.

  1. I Gusti Putu Mangku menurunkan : I Gusti Made Suarya, I Gusti Nyoman Suartha, I Gusti Ketut Suarjana, I Gusti Ketut Suarjaya, I Gusti Ketut Suardaka.

I Gusti Ketut Subhawa menurunkan : I Gusti Ketut Sudarsana, I Gusti Ketut Maha Wibhawa.

I Gusti Ketut Sugata menurunkan : I Gusti Nyoman Sudarmika (alm.)

I Gusti Ketut Suasta menurunkan : I Gusti Gede Sudarmawan, I Gusti Made Ariawan

I Ketut Putru menurunkan : I Komang Suarjana, I Ketut Swadipa, I Mahayana, I Andayana.

I Gusti Made Sarta menurunkan : I Guti Putu Jinarka (alm), I Gusti Ketut Oka (alm).

I Gusti Ketut Putra (alm), I Gusti Ketut Sedana (alm), I Gusti Gede Wenten.

I Gusti Made Sonaka menurunkan : I Gusti Putu Suarjana, I Gusti Made Suardika, I Gusti Sugiarta (Bendi),

  1. I Made Suarya menurunkan : I Putu Gerhana Suaryaputra, I Made Baskara Suaryaputra, I Nyoman Brahma Suaryaputra, I Ketut Yogama Suaryaputra.

I Gusti Nyoman Suartha menurunkan : I Gusti Bagus Pranayoga, I Gusti Made Dwinanda Sidiartha, I Gusti Nyoman Doananda Samadiartha, I Gusti Ngurah Ketut Raharya Sidiaji.

I Ketut Suarjana menurunkan : I Ketut Arya Wibawa.

I Gusti Ketut Suarjaya menurunkan : I Gusti Bagus Arya Mahottama.

I Gusti Ketut Suardaka menurunkan : I Gusti Putu Maha Pujasream.

I Gusti Gede Sudarmawan menurunkan : I Gusti Sawita Ananda (alm), I Gusti Satya Arya Ananta, I Gusti Satya Arya Satwika Arka Ananta.

I Gusti Made Ariawan menurunkan : I Gusti Satyatma Pranaja Aryawan.

  1. I Gusti Bagus Putu Pranayoga menurunkan : I Gusti Bagus Satria Yogananda.I Gusti Made Gangga Raditiyasa, I Gusti Nyoman Ry Putra Pranayoga

I Gusti Made Dwinanda Sidiartha menurunkan : I Gusti Ngurah Bagus Waskita Dhaneswara, I Gusti Ngurah Made Anantawirya Yogeswara.


I Gusti Nyoman Doananda menurunkan : I Gusti Ngurah Devananda Bhakti Sadha


Pura Kawitan Pusat Sungsungan Tegehkori



Pesamuan Agung Nararya Dalem Tegehkori yang digelar pada tanggaL 9 September 2010 di Nusa Dua Badung menghasilkan bhisama tentang penetapan pura kawaitan yang menjadi pusat sungsungan warih Dalem Tegehkori. Ada dua pura penting yang ditetapkan menjadi pusat sungsungan yakni Pura Dalem Benculuk sebagai purusha dan Pura Batursari sebagai pradana. Kedua pura tersebut posisinya bersebelahan, di Kelurahan Tonja Denpasar. Pura Dalem Benculuk menghadap ke arah barat sesuai dengan garis edar matahari/surya dan bulan/candra yang bersifat aktif, sedangkan Pura Batursari menghadap kelod (selatan) sesuai dengan posisi kutub bumi/pertiwi yang bersifat statis.


Pesamuan Agung yang baru pertama kali digelar oleh Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegehkori (PANDBTK) pasca Mahasabha I Tahun 2009 itu juga juga menetapkan kewajiban warih Tegehkori untuk mempelopori penyederhanaan upacara Hindu di Bali. “Penyederhanaan” itu lebih dimaksudkan agar umat Hindu mampu bersaing mengembangkan sumber daya manusia (SDM) di era kesejagatan ini sesuai dengan intisari kitab Weda tanpa meninggalkan tradisi loka dresta yang telah hidup sepanjang zaman. Penyederhanaan upakara dan upacara hendaknya disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Penyederhanaan menjadi solusi dasar agar potensi keuangan masyarakat Hindu di Bali bisa diarahkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Terkait dengan upakara/upacara dimaksud, Pesamuan Agung I juga menetapkan penggantian istilah tingkatan yadnya menjadi alit, madya agung, menggantikan istilah lama nista, madya, utama. Alasannya, dari kontek-bahasa, konotasinya sangat tidak baik, padahal semua upakara/upacara tujuannya baik/utama. Ternyata selama ini istilah nista amat mengganggu karena konotasinya dianggap rendah/hina. Dengan penggantian istilah ini umat Hindu khususnya di Bali bisa melaksanakan yadnya dengan baik tanpa harus dibayangi oleh beban perasaan besar kecilnya bebanten/upakara serta marak tidaknya rangkaian prosesi upacara. Sekretaris Jendral PANDBTK DR.Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III menegaskan perubahan ini akan berdampak pada kesetaraan hak azasi setiap orang dalam melaksanakan yadnya.


Pesamuan Agung I Tahun 2010 juga melahirkan keputusan tentang pedoman pelaksanaan upacara yadnya, yakni apa pun macam pelaksanaan yadnya itu agar umat selalu menjunjung etika terhadap sulinggih yang muput upacara. Wujud penghormatan terhadap sulinggih adalah bentuk pelaksanaa Rsi Yadnya yang terkait pula dengan Tri Rna dan Catur Guru.

Warih I Gusti Tegeh Kori


Menelusuri jejak sejarah leluhur yang telah terjadi dalam rentang waktu enam abad bukanlah pekerjaan gampang. Selain mesti didasari referensi yang cukup, seorang sejarahwan mesti memiliki wawasan kesejarahan yang luas dan mendalami secara matang suasana batin para leluhur sebagai pelaku sejarah berikut peristiwa kesejarahannya. Dengan kata lain seorang peneliti sejarah harus pandai terjun ke masa silam dan ia mesti sanggup menenggelamkan dirinya dalam lautan sejarah untuk kurun waktu yang tak terbatas. Tidak kalah pentingnya seorang sejarahwan harus mampu melakukan kajian secara obyektif dan komprehensif serta sejauh mungkin menghindari dorongan yang bersifal subyektif. Ia pun dituntut untuk senantiasa mengedepankan etika secara profesional. Penulis adalah bukan seorang sejarahwan.


Nama besar Tegehkori adalah sebuah nama yang cukup fenomenal di blantika sejarah Bali. Tegehkori menjadi sebuah daya tarik tersendiri dalam khasanah budaya di Bali. Keharuman nama raja Badung lima dinasti selama tiga abad (XV - XVII) yang sempat menjadi cerita misteri itu seakan tak lekang sepanjang zaman, meski hingga kini telah melintasi kurun sejarah sekitar enam ratus tahun. Dinasti Tegehkori beserta keturunannya sempat menghilangkan jejak dari sejarah Bali selama kurun waktu empat abad terakhir. Memasuki abad XXI tumbuh kesadaran beberapa orang warih yang peduli terhadap lelintihan, telah mencoba untuk mengungkap dan membukukan kesejarahan I Gusti Tegehkori.


Selama kurun lebih dari tiga abad (XVII - XX) seluruh paranti santana (keturunan) dinasti I Gusti Tegehkori nyineb prewangsa (menyembunyikan identitas kebangsawanan). Kini di abad XXI para damuh Ida mulai secara terbuka mengakui dirinya sebagai warih Ida Dalem. Organisasi khusus pasemetonan tingkat daerah dan nasional pun berhasil dibentuk oleh sejumlah tokoh Tegehkori pada tahun 2008. Mahasabha I Pasemetonan Ageng Tegehkori terselenggara pada tahun 2009 menghasilkan beberapa keputusan penting termasuk pengesahan kesejarahan Tegehkori. Hal-hal penting yang bersifat strategis mengenai hak dan kewajiban sameton Tegehkori juga berhasil dirumuskan dan diputuskan oleh Mahasabha I.


Masa kejayaan dinasti Tegehkori sebagai pendiri Kerajaan Badung berlangsung selama dua setengah abad (1390 - 1671 M). Awal masa suram diawali dengan peristiwa penyerangan oleh Ki Jambe Pule Merik bersama laskarnya mengobrak-abrik Puri Tegal Kutha. Sejak itu Raja Badung VI Gusti Tegeh Tegal Kutha beserta seluruh keluarga di kegelapan malam meninggalkan puri sejauh-jauhnya dan kemudian melepas status kebangsawanan. Hanya satu yang mereka bawa kesah (menyingkir) yakni sekotak rajapurana atau lebih dikenal dengan sebutan prasasti. Terbukti bahwa sejarah tidak akan pernah bisa terhapus selamanya dengan ditemukan catatan-catatan penting bernilai historis bahwa Kerajaan Badung yang terletak di wilayah selatan Pulau Bali pernah dipimpin oleh lima orang raja secara turun temurun dari satu dinasti I Gusti AnglurahTegehkori. Kerajaan Badung seperti juga beberapa kerajaan kecil lainnya di Bali berada di bawah naungan Dalem Bali. Pusat kerajaan Bali dinasti Dalem Shri Kresna Kepakisan pada mulanya berpusat di Puri Lingharsapura Samprangan Gianyar, kemudian berpindah ke Puri Swecapura di Gelgel dan terakhir Puri Semarapura di Klungkung. Hubungan Anglurah Badung dinasti Tegehkori dengan Dalem di masa itu berbeda dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Bali, karena selain menyangkut hubungan pemerintahan antara daerah bawahan dengan atasan juga pada kedua pihak memiliki kaitan genetis purusha. Hubungan purusha yang bersifat khusus dan permanen itu sejak zaman dulu hingga kini dan untuk seterusnya tetap abadi dan terjaga dengan baik.


Pusat pemerintahan kerajaan Badung dinasti Tegehkori I pada awal berdirinya berpusat di Tonja dan istananya disebut Puri Tonjaya. Diperkirakan pada masa pemerintahan berikutnya yakni ketika Badung diperintah oleh Anglurah Tegehkori II mulai dibangun istana baru yang kemudian diberi nama Puri Ksatria yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Putri Satria. Oleh karena kerabat puri terus-menerus berkembang-biak dari tahun ketahun maka di beberapa lokasi dibangun puri baru seperti di Tegal dan beberapa lokasi lainnya. Pasca ditinggalkan oleh Dinasti Tegehkori, Kerajaan Badung terus-menerus mengalami pergolakan berupa pertikaian perebutan kekuasaan peperangan antar kerajaan hingga peristiwa banjir darah dan air mata Puputan Badung. Anugerah Ida Bhatari Dewi Danu Batur berupa senjata cemeti dan tulup yang diterima Ki Jambe Pule menghantarkan beliau beserta keturunannya pada masa-masa kejayaan memerintah Kerajaan Badung sekaligus pula petaka yang menyertainya secara herois dengan semangat kepahlawanan.


Seluruh warih Ida Bhatara Tegehkori kini patut bersyukur memiliki leluhur yang pantas dipuja dan diteladani. Kawitan Tegehkori sebelum abiseka Raja Badung menerima anugerah bukan berwujud senjata namun berupa slepa (tempat sirih) berwarna keemasan dari Ida Bhatara Dewi Danu Batur. Rupa paica slepa dari Ida Bhatari itu jika dikaji secara mendalam mengandung makna filosofis yang amat luhur antara lain : tutug tuwuh artinya panjang usia. Pada masa silam para tetua yang melakukan tradisi nginang (menikmati sirih) hidupnya pada umumnya sehat-sehat dan kuat serta bertahan hidup lama. Terbukti selama lebih dua abad memerintah di Kerajaan Badung dipimpin oleh lima raja turun-temurun. Jika dirata-rata seorang raja semasa itu mampu memerintah selama kurun waktu 40 tahun. Makna slepa paica Ida Bhatari juga mengandung ilmu rahasia “mengecilkan” tubuh, sehingga Kawitan bisa masuk ke slepa dan jika diterjemahkan itulah ilmu pengetahuan kaprajnanan kawisesan kawaskitan lan kamoksan. Terubukti pula selama dua abad itu Gumi Badung mengalami zaman keemasan kerta raharja gemah ripah loh jinawi (kepemimpinan yang adil makmur aman sentosa dan bahagia) tidak pernah terjadi pergolakan kekuasaan dan peperangan.


Kendati pasca “kudeta” Kiyayi Jambe Pule Merik selama lebih tiga abad warih Tegehkori tercerai-berai di antero Bali dan Nusantara, namun kini seluruhnya telah dipersatukan kembali melalui Mahasabha I tahun 2009 oleh Pasemetonan Ageng Nararya Dalem Tegehkori. Pusat sungsungan Kawitan Tegekori adalah di Pura Dalem Benculuk/Badung (Purusha) dan Pura Batursari (Pradhana) genahpaica slepa Ida Bhatara Dewi Danu Batur (Ratu Gede Batursari) untuk memohon kesejahteraan. Setelah sukses pelaksanaan Mahasabha I tahun 2009 dilanjutkan dengan upacara Mewali ke Purusha Jati dengan menghaturkan upacara guru piduka lan bendu piduka, maka seluruh warih Ida Bhatara Dalem Tegehkori berhak menghaturkan bhakti ke hadapan Kawitan sane duwuran utawi lingsiran yakni Ida Bhatara Dalem Shri Kresna Kepakisan di Merajan Pedharman Puri Agung Klungkung dan di Pura Pedharman Dalem Shri Kresna Kepakisan di Besakih. Selain itu tidak kalah pentingnya bahwa semua warih pun dapat ngelungsur kajang kawitan langsung di Puri Agung Klungkung.

Gairah Pasemetonan Tegehkori

 

Kesadaran umat untuk memahami kesejarahan dan jatidirinya kian mengalami peningkatan dalam beberapa tahun belakangan ini. Fenomena ini dapat dimaklumi karena manusia Bali berkeyakinan bahwa urusan mekawitan amat penting dan terkait erat dengan pelaksanaan yadnya serta sradha yang ke empat dari Panca Sradha yaitu punarbhawa. Orang Bali umumnya berkeyakinan bahwa panumadian (punarbhawa) berlangsung secara turun-temurun mengikuti garis purusha. Krama Bali juga berkeyakinan bahwa kelahiran berhubungan mutlak dengan swakarma atau baik-buruknya perbuatan semasa hidup. Karma adalah penentu wujud panumadian, pada kehidupan berikut apakah akan menjadi manusia berderajat (nista, madya, utama) atau bahkan merosot secara linear sesuai dengan rahasia paingkelun menjadi : wong, sato, mina, manuk, taru, wuku. Hindu berkeyakinan bahwa hidup sebagai manusia sejatinya adalah kesempatan emas untuk mengikuti ujian dharma melawan adharma. Itulah sebabnya Hindu lebih mengutamakan kualitas bagi pemeluknya ketimbang kuantitasnya. Kesempatan lahir sebagai manusia adalah suatu anugerah yang tidak pantas disia-siakan. Ujian kehidupan adalah peperangan terbesar yang berlangsung dalam diri sendiri sebagaimana digambarkan dalam ephos Bharatayudha. Itulah sebabnya yadnya terhadap leluhur (kawitan) beserta segenap aspek kedewataan lainnya diyakini merupakan bagian terpenting dari pemujaan dan senantiasa bermuara pada Ida Sang Hyang Tunggal Paramakawi. Bhagawadgita yang diturunkan oleh Dewa Wisnu melalui manifestasi Bhatara Kresna sesaat menjelang Bharatayudha adalah pedoman hidup sejati dalam memenangkan dharma melawan adharma. Senjata mahottama untuk mencapai kemenangan menurut Bhagawadgita adalah Yoga.


Telah menjadi semacam keyakinan di kalangan krama Bali bahwa melupakan kawitan atau keliru menentukan kawitan purusha jati akan mengakibatkan penderitaan. Keyakinan seperti ini membikin krama ketakutan. Tidak sedikit krama mencoba telusuri lewat bermacam upaya. Kendala utama adalah ketiadaan sumber tertulis, apakah itu berupa waris babad, silsilah, prasasti atau purana. Para pendahulu yang tidak mewariskan lelintihan keluarga akibatkan kebingungan pada diri damuhnya. Kisah lelintihan yang diturunkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun dari tahun ke tahun dan bahkan dari abad ke abad tentu tidak akurat dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Apalagi dibumbui dengan kalimat “anak mula kenten kone nika”.


Menurut Bhagawadgita, bahwa penyebab utama penderitaan adalah kebodohan atau ketidaktahuan (awidya). Ketidaktahuan di sini maksudnya adalah terkait dengan ilmu dan pengetahuan. Mereka yang tidak mengenai ilmu dan pengetahuan akibatnya kebingungan (moha). Kebingungan sebabkan kemiskinan (papa). Kemiskinan berujung penderitaan (dukha).


Para leluhur seperti halnya ayah dan ibu sejatinya juga amat sayang terhadap keturunannya. Para damuh seyogianya tidak mengabaikan orang tua dan leluhurnya (guru rupaka). Jika melupakan,. maka para damuh disebut anak durhaka (alpaka). Rasa sayang terhadap leluhur dapat diwujudkan dalam bentuk yadnya (pitra yadnya atau dewa yadnya). Kendati beliau-beliau itu secara fisik mungkin sudah tidak nampak secara kasatmata karena sudah kembali ke sunya loka, namun keberadaan para leluhur diyakini tetap ada di niskala dan senantiasa menaungi seluruh damuhnya. Hubungan vertikal antara damuh dengan leluhur bersifat abadi dan tentunya saling mengasihi.


Kini terkait dengan munculnya beberapa organisasi pasemetonan mungkin dapat ditafsirkan sebagai wujud saling mengasihi antar sesama damuh secara horizontal. Fenomena ini cukup menarik lantaran masing-masing organisasi pasemetonan itu secara kuantitatif memiliki anggota dalam jumlah relatif banyak. Organisasi pasemetonan Pasek saat ini memiliki anggota terbanyak. Disusul pasemotonan Dalem Badung I Gusti Tegehkori Kresna Kepakisan yang baru belakangan ini terbentuk dengan jumlah anggota mencapai ratusan ribu jiwa tersebar di seluruh Tanah Air. Mungkin jika pada suatu saat nanti organisasi pasemetonan Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan terbentuk dan organisasi pasemetonan Tegehkori masuk di dalamnya, maka jumlah anggotanya akan menjadi yang terbesar. Atau bahkan akan menjadi berlipat-lipat jumlah keangotaannya jika nanti organisasi Tegehkori bernaung di bawah organises induk pasemetonan Mpu Bradah. Itu pun jika ada yang sanggup merintis pembentukannya.


Kegairahan baru pun muncul seiring dengan berdirinya organisasi yang diberi nama Pasemetonan Agung Nararya Dalem Benculuk Tegehkori. Para perintisnya kini duduk menjadi pengurus organsasi pusat dengan ketua umumnya Brigadir Jendera Polisi (Purnawirawan) Nyoman Gede Suweta kelahiran Desa Gobleg Buleleng. Kurang dari tempo setahun sejak berdirinya organisasi ini sudah sanggup menyelenggarakan Mahasabha I pada bulan Oktober 2009 dan menghasilkan sejumlah keputusan strategis menyangkut hal-hal yang amat dibutuhkan warganya. Disadari atau tidak, keberadaan organisasinya ini amat penting terutama berkaitan dengan hak dan kewajibar warga Tegehkori baik secara sekala maupun niskala. Salah satu momen penting terkait hasil Mahasabha I adalah terselenggaranya upacara Mewali ke Purusha Jati. Upacara ini mengandung makna penting kembalinya trah Tegehkori ke purusha yang sesungguhnya yakni Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan. Sebagaimana telah diungkapkan dalam babad pada bagian awal buku ini bahwa I Gusti Tegehkori I Raja Badung I lewat suatu goro-goro di paseban Puri Lingharsa di Samprangan pernah diangkat anak (kadanaputra) oleh Arya Kenceng seorang patih Bali yang diberi mandat oleh Dalem menjadi penguasa di Tambangan (Tabanan). Gorogoro di istana itu menyebabkan I Dewa Anom Pemayun harus pasrah menerima nasib terbuang dari pelukan ayah-bunda beliau ketika baru menginjak usia 11 bulan, serta nama beliau pun diganti oleh ayahanda tercinta Dalem, menjadi I Gusti Tegehkori. Setelah lebih enam abad berlalu dan sudah mencapai 18 generasi serta ketika kini telah memuncak kesadaran para damuh Ida untuk untuk kembali ke jati diri yang sejati-jatinya sesuai aliran darah genetis leluhur, maka upacara Mewali ke Purusha Jati yang telah terselenggara selama dua hari pada hari Jumat Paing hingga Sabtu Pon tanggal 16 dan 17 Oktober 2009 yaitu dua hari menjelang piodalan Pemacekan Agung Pura Dalem Badung di Benculuk Tonja Denpasar telah menjadi catatan emas dalam sejarah Tegehkori di era kesejagatan sekarang.


Upacara di awali dengan mapiuning lan pakemitan di Pura Dalem Badung/Benculuk dan Pura Batursari, lantas mapiuning di Pemerajan Agung Satria, menghaturkan upakaru guru piduka dan bendu piduka di Merajan Bhatara Arya Kenceng di Buahan Tabanan Aipuput oleh Ida Pandita Sri Bhagawan Yoga Wiswa dari Gria di Banjar Paket Agung Singaraja, mapiuning di Pura Agung Samprangan Gianyar, menghaturkan upakara guru piduka lan bendu piduka mwah mawali ka purusha jati di Merajan Pedharman Ida Bhatara Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan Puri Agung Klungkung dipuput Ida Pedanda di Semarapura Klungkung, mapiuning di Merajan Puri Gelgel, mapiuning di Pura Dasar Bhuana Gelgel, mapiuning di Pura Ulun Danu Batur Songan Kintamani Bangli dilanjutkan upacara pakelem di Danau Batur tepat tengah malam pukul 00.00 dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pasemetonan Agung Tegehkori DR.Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakama MWS. Puncaknya adalah di Besakih yakni upacara mapiuning di Pedharman Arya Kenceng, upacara guru piduka lan bendu piduka mwah mawali kapurusha jati di Pedharman Ida Bhatara Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan dipuput oleh Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Kerthi dari Gria Lebah Siung di Anturan Buleleng bersama Ida Pandita Sri Bhagawan Agni Sila Dharma Biru Daksa dari Geria di Bantiran Tabanan, dilanjutkan dengan pembacaan keputusan-keputusan Mahasabha I, serta diakhiri dengan menghaturkan puja suci bhakti di Penataran Agung Besakih. Peserta yang ikut dalam prosesi Mewali ke Purusha Jati itu terdiri atas para pengurus Pasemetonan Tegehkori dari semua kabupaten se Bali beserta para bhakta warih Dalem. Prasasti dan pratima dari Pura Batursari Tonja, Jembrana, Denpasar dan Singaraja ikut ngiringang Ida Bhatara Dalem Badung Tegehkuri lunga ke seluruh pura dimaksud.


Rangkaian panjang upacara Mewali ke Purusha Jati dimaksud mengandung makna yang am at mendalam sebagai tonggak bersejarah kembalinya secara resmi Ida Bhatara Kawitan Tegehkori beserta seluruh damuh Ida ke pangkuan Ida Bhatara Purusha Jati Shri Aji Dalem Kresna Kepakisan di Klungkung. Dengan mewalinya trah Tegehkori ring Puri Agung Klungkung sekaligus dengan pengakuan resmi Penglingsir Puri Agung Klungkung Ida Dalem Semarapura (walaka Ir.Tjokorda Gde Agung, SP) maka resmi pula tersambungnya kembali pasemetonan Tegehkuri dengan Puri Agung Klungkung di Semarapura. Terselenggaranya seluruh rangkaian upacara tersebut tidaklah lantas menjadikan terputus sama sekali hubungan kekerabatan dengan pihak Puri Buahan beserta pesemetonan Arya Kenceng lainnya. Hubungan kekeluargaan kekerabatan serta kerja sama dalam berbagai bidang akan terns dilanjutkan di masa-masa mendatang guna memperkuat nilai-nilai budaya spiritual dan lain sebagainya, sebagaimana telah terjalin dengan baik selama ini.

Kronologi Sejarah Agama Hindu & Pemerintahan di Bali



1500 SM Tuhan menurunkan wahyu Weda kepada tujuh maharshi (Sapta Rshi) bangsa Arya di daerah Punyab lembah sungai Sindu di India bagian barat selama kurun waktu 500 tahun. Tujuh Maharshi penerima sabda (sruti) Weda : Maharshi Gertsamada, Maharshi Wiswamitra, Maharshi Wamadewa, Mahrshi Atri, Maharshi Bharadwaja, Maharshi Wasista dan Maharshi Kanwa. Masa itu belum ada budaya tulis, Penyebaran Agama Hindu secara lisan meluas ke timur hingga lembah Sungai Gangga. Yamuna, Saraswati, Brahmaputra dan Pegunungan Himalaya sebagai hulunya di utara. Pemimpin bangsa Arya yang terkenal masa itu adalah Manu dan mengeluarkan undang-undang Manawa Dharma. Bangsa Arya dibagi tiga golongan (Triwarna): Brahmana yang berkewajiban mempelajari Weda dan mengajarkan kepada orang lain. Ksatria berkewajiban mengurus negara dan Wesia berkewajiban bercocok tanam, beternak dan berdagang.


1000 SM Awal zaman penulisan wahyu Weda (smerti) menandai lahirnya budaya aksara Sanskerta. Weda mulai dituls oleh para maharshi dibawah kendali Bhagawan Wyasa dibantu empat sisya di tepi sungai Saraswati. Bhagawan Pulaha menyusun Regweda (syair pujian terhadap para dewa langit, dewa angkasa / bhatara dan dewa bumi yaitu Ibu Pertiwi, Agni), Bhagawan Jetnini menyusun Samaweda (memberi tanda pada seluruh syair Regweda untuk dilagukan), Bhagawan Waisampayana menyusun Yayurweda (syair doa-doa kepada para dewa ketika menghaturkan sesaji) dan Bhagawan Sumanta menyusun Atharwaweda (mantram-mantram penyembuhan, percintaan, kekuasaan, peperangan dsb). Seluruh penduduk di daratan India menganut Agama Hindu.


750M Awal zaman Upanisad yakni pola pengajaran kerohanian oleh guru suci kepada sisya yang lebih menekankan pentingnya pelaksanaan Yoga sebagai jalan mencapai Moksa. Chandagya Upanisad mengajarkan Tat Twan Asi bahwa Atman ada dalam Brahman. Taitrya Upanisad menyatakan Aham Brahman Asami (Aku/Atman adalah Brahman). Penggunaan sesajen kian dikurangi hingga yang paling sederhana namun tetap memperhatikan unsur air, api dan kembang serta aspek etika dan estetika pemujaan terhadap leluhur dan para dewa.


600 SM Agama Hindu mulai menyebar di Nusantara melalui kedatangan para maharsi dan saudagar dari Guzarat - India. Kautalya adalah seorang Maha menteri Kerajaan Maurya di India, pernah menulis pengalaman melautnya ke sejumlah pulau di Nusantara. Dalam bukunya yang bertajuk Artha Sastra, Kautalya menerangkan bahwa negeri-negeri yang ada di kepulauan ini menghasilkan berbagai jenis kebutuhan seperti rempah-rempah. cendana, perak. emas, permata dan sebagainya. Cerita yang ditulis pada masa pemerintahan dinasti Maurya di India 300 tahun sebelum Masehi itu menyebut-nyebut antara lain Swarna Dwipa. Rupyaka Dwipa, Yawa Dwipa, Bali Dwipa dll. Masa ini merupakan awal zaman Itihasa yakni penulisan Wiracarita (kisah kepahlawanan zaman dulu) seperti Ramayana oleh Adikawi Walmiki dan Mahabharata oleh Bhagawan Kresna Dwipayana (Wyasa) yang disisipi ajaran Weda dan Upanisad, Sutra-sutra seperti Dharma Sutra dan Wedanta Sutra. Zaman ini juga awal pengajaran filsafat Dharsana.


563 SM Sidharta Gautama lahir di Kapilawastu, India. Beliau nilar istana melakukan Yoga hingga mencapai Siwaloka dan mengajarkan Bhudda Dharsana kepada pengikutnya yang pertama tahun 528 SM. Gerakan Buddha lahir sebagai wujud protes terhadap pelaksanaan ajaran Shiwa (Hindu) yang lebih mengutamakan ritual (upacara keagamaan) yang berlebih-lebihan. Empat keyakinan (catur sradha) Buddha : 1) hidup ini adalah derita, 2) derita diakibatkan oleh ketidak-ikhlasan dan keinginan untuk kesenangan, 3) derita harus dilenyapkan dengan menjauhi penyebabnya, 4) melaksanakan delapan jalan kebenaran menjauhi derita : *kepercayaan yang benar. *niat yang benar, *berbicara yang benar, *berbuat yang benar. *cara hidup yang benar, *berusaha yang benar. *memusatkan perhatian yang benar. *bersemadi yang benar. Buddha meninggal tahun 483 SM. Pengikut ajaran Budda yang terkenal adalah Raja Asoka (273-232 SM). Raja Asoka tampil sebagai pelindung Agama Buddha, beliau semula adalah penganut Hindu yang beralih ke Buddha. Pada masa ini Agama Buddha mengalami zaman keemasan di India.


79 SM Penobatan Raja Kanishka I dari dinasti Kushana pada Kerajaan Shaka di India pada suklapaksa apisan sasih kedasa anggal 21 Maret 79 SM telah dijadikan awal perhitungan tahun Shaka. Raja yang amat mashur ini menegakkan kembali agama Hindu menjadi agama kerajaan-kerajaan di seluruh wilayah India. Pada masa ini Agama Buddha pecah menjadi dua aliran : Mahayana dan Hinayana. Perhitungan tahun Shaka hingga sekarang menjadi patokan kalender Shaka di Indonesia khususnya Bali. Setiap pergantian dan permulaan tahun Shaka di Bali dirayakan dengan Catur Brata Panyepian (amati geni, amati lelungan, amati lelanguan, amati karya) dan bagi yang terbiasa ditambah dengan monabrata dan upawasa. Hari Raya Nyepi jatuh pada setiap penanggal ping pisan sasih kedasa pada setiap bulan Maret tahun Masehi. Sehari sebelumnya yakni panglong ping limolas tilem sasih kesanga dilaksanakan upacara tawur caru agung berpusat di Besakih dan tersebar di seluruh Nusantara untuk mensucikan kembali bhuana agung.


2 M Kisah Ramayana yang ditulis pada tahun 750 SM mengalami penyempurnaan menjadi tujuh jilid : 1) Balakanda tentang Shri Rama putra raja Dasarata mendapatkan Dewi Sinta melalui sayembara, 2) Ayodiakanda tentang pembatalan Rama naik tahta dan membuang diri di hutan, 3) Aranyakanda tentang Rama, Sinta, Laksamana selama di hutan dan penculikan Sita oleh Rahwana, 4) Kiskendakanda tentang Sugriwa merebut kembali istrinya dari tangan Subali dibantu Rama. 5) Sundarikanda tentang Hanoman ke Alengka mencari Sinta, 6) Yudhakanda tentang perang landing laskar wanara melawan tentara raksasa Alengka hingga kembalinya Dewi Sinta ke Ayodia, 7) Uttarakanda tentang issu tercemarnya kesucian Dewi Sinta dan berakhirnya tugas Rama sebagai awatara Dewa Wisnu.


317 M Dinasti Gupta muncul setelah dinasti Kushana mengalami kemunduran. Chandra Gupta I diganti oleh Samudera Gupta, kelak diteruskan oleh Chandra Gupta II. Pada masa ini agama Hindu mengalami zaman keemasan menjadi agama resmi di India. Sastra, banguan suci Hindu dan para Dewa mendapat perhatian yang amat besar. Lukisan dan ukiranDewa dan Dewi serta sekte-sekte mulai muncul sebagai refleksi pemujaan terhadap shakti Tuhan.


400 M Kitab-kitab itihasa mengalami pembaharuanan selling dengan perubahan zaman yang menghendaki agar pola pengajaran dan praktek keagamaan lebih disederhanakan. Kitab Mahabharata disempumakan menjadi 18 parwa (jilid) : 1) Adiparwa tentang asal-usul Kurawa dan Pandawa, 2) Sabhaparwa tentang Pandawa terbuang ke hutan akibat kalah judi, 3) Wanaparwa tentang suka duka Pandawa selama 12 tahun di hutan, 4) Wirataparwa tentang setahun Pandawa di kerajaan Wirata. 5) Udyogapara tentang gagalnya upaya damai yang diprakarsai Shri Krishna hingga persiapan peperangan Paknadawa >< Kurawa, 6) Bhismaparwa tentang Bisma diangkat menjadi senopati Kurawa hingga menunggu ajal, 7) Dronaparwa tentang Bhagawan Drona diangkat menjadi senopati Kurawa hingga gugur, 8) Karnaparwa tentang Kama menggantikan Drona menjadi senopati Kurawa hingga tewas, 9) Salyaparwa tentang Salya menjadi senapati kemudian diteruskan oleh Aswatama Dronaputra menggantikan Salya, 10) Sauptikaparwa tentang Aswatama berusaha melenyapkan Pandawa. 11) Satriparwa tentang tangis duka para janda ditinggal mati yudha, 12) Shantiparwa tentang usai Bharatayudha dilakukan penobatan Yudistira menjadi raja Astina, 13) Anusaparwa tentang saat-saat meninggalnya Bhisma, 14) Ashwamedaparwa tentang upacara yadnya kuda oleh Pandawa. 15) Asramawasikaparwa tentang kisah wanaprasta Dewi Kunti, Drestarasta dan istri, 16) Mausalaparwa tentang moksanya Krishna dan lenyapnya wangsa Yadu. 17) Mahaprasthanikaparwa tentang Parikesit naik tahta Astina dan Pandawa mendaki gunung Himalaya menuju swahloka, 18) Swargarohanaparwa tentang Yudistira dan adik-adiknya masuk swahloka.


750 M Malia Rsi Markandya adalah seorang pendeta suci dari India Selatan atas titah Sang Hyang Mahadewa di Puncak Himalaya menyebarkan agama Hindu di Nusantara. Beliau datang ke Bali bersama 400 orang yang diajak dari Pegunungan Dieng Jawa Tengah, namun banyak yang meninggal karena sakit dan dimakan binatang buas saat membuka lahan di kawasan Pura Besakih sekarang. Ekspedisi kedua sebanyak 900 orang dibawa dari Gunung Raung Jawa Timur dan kemudian kembali membuka lahan disekitar Besakih. Beliaulah yang menancapkan “Panca Datu” menandai pembangunan Pura Basuki (Besakih). Orang-orang dari Jawa inilah yang kelak disebut orang Bali Aga Mereka mendirikan pura pertama di Bali yaitu Pura Gunung Raung di Taro Gianyar.


850 M Shri Agni Narapati (Shri Maya Danawa) adalah Raja Bali pertama keturunan dinasti Raja Sriwijaya. Pusat kerajaannya dinamai Singha Mandawa di Balingkang. Beliau ditundukkan oleh dinasti Warmadewa (Warman) yang dibantu orang- orang dari daratan China. Kejatuhan Shri Maya Danawa memunculkan perayaan Galungan.


882 – 915 M Sri Kesari Warmadewa, pusat kerajaannya disebut Singha Dwala di sekitar Besakih, tempat pemujaannya disebut Merajan Selonding. Sejak itu Hari Raya Nyepi dilaksanakan atas perintah beliau. Beliau juga melengkapi bangunan-bangunan suci di komplek Besakih. Dan juga membangun beberapa pura, antara lain : Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul, Pura Batu Madeg, Pura Dalem Puri, dan Pura Basukian. Para akhli sejarah menyimpulkan bahwa masa pemerintahan Sri Kesari Warmadewa itulah tonggak awal sejarah tumbuhnya peradaban Hindu di Bali. Penyuratan hukum atau awig-awig dan kejadian penting lainnya serta mantram-mantram, ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan huruf Palawa atau Dewanagari. Pada perkembangan berikutnya penyuratan tersebut ditulis dalam huruf dan bahasa Kawi (Jawa Kuna). Sekarang bentuk penyuratan demikian itu dikenal dengan sebutan prasasti, yang diantaranya dapat dibaca oleh para arkeolog atau akhli kepurbakalaan. Berbagai prasasti sejarah Bali Kuna yang kini banyak tersimpan di sejumlah musium baik di dalam negeri maupun di luar negeri umumnya ditulis grafir atau dipahat di permukaan lempengan-lempengan logam. Jenis logam yang dipergunakan sebagai sarana menulis prasasti kebanyakan dipilih dari bahan perunggu. Sebagian prasasti lainnya dijumpai dalam bentuk tulisan maupun gambar-gambar yang dipahat di permukaan batu-batu besar, dinding-dinding goa, pada dinding candi, dan sebagainya. Cara penulisan angka tahun Saka hampir semuanya menggunakan Chandra Sangkala maupun simbul-simbul khusus lainnya yang dapat diterjemahkan menjadi angka tahun tertentu. Sejarah Bali Dwipa (Pulau Bali) baru mulai terungkap secara tertulis melalui prasasti Shri Kesari Warmadewa yang bertahun Saka 835 atau tahun 913 Masehi. Para Maharsi atau tokoh penyebar agama Hindu yang datang dari India pada masa-masa itu mulai memperkenalkan tata cara penyuratan terhadap hukum dan peristiwa penting lainnya kepada raja-raja yang berkuasa di Bali. Tokoh agama yang paling mashur yang datang dari India sebagai peletak awal masa sejarah di Nusantara ini adalah Punta Hyang Agastya Maharsi. Diperkirkan tatkala maharsi itu menyebarkan ilmu pengetahuan dan agama Hindu di tanah Jawa. Bliau itulah yang menyandang julukan Sang Aji Soko atau Aji Saka.


915 – 942 M Sri Ugrasena Warmadewa adalah pelanjut takhta kerajaan di Bali setelah Sri Kesari Warmadewa. Prasasti yang menyuratkan hal-hal penting yang bersangkut-paut tentang kerajaan, adat dan agama maupun peristiwa penting lainnya di Bali terus berlanjut menjadi sebuah tradisi. Seperti dijumpai dalam prasasti Sukawana yang bertahun Saka 804 — 864, tertulis nama Singha Mandawa yang berarti Keraton Singha. Suratan nama Singha Mandawa itu dijumpai pula di Tugu Belah Jung (Blanjung atau Blanjong) di Sanur yang bertahun Saka 835. Di sana disebut Singha Dwara Pura yang berarti pintu masuk kerajaan Singha Mandawa. Prasasti Sanur itu juga menyebut-nyebut nama raja Shri Ugrasena. Prasasti Sukawana seperti tertera didalamnya, ditulis pada waktu terjadi sidang pengadilan oleh Sadasiwa di Singha Mandawa pada bulan Magha (Januari) Suklapaksa (bulan terang) Praptipada (penanggal ping pisan atau tanggal 1) Saka 804. Prasasti yang amat terkenal dan memiliki nilai sejarah yang tinggi itu hingga kini tetap terpelihara dan menarik perhatian para peneliti maupun para pemerhati budaya.

955 – 974 M Shri Tabanendra Warmadewa (Chandrabaya Singha Warmadewa / Jaya Singha Warmadewa) membangun permandian Tirta Empul pada tahun 962. Di Kintamani ada prasasti bertahun Saka 877 - 899 yang ditulis atas nama raja Sang Ratu Aji Tabanendra Warmadewa dengan pemiasurinya bemama Ratu Sri Subadrika Warmadewi.


975 – 983 M Shri Jayasadu Warmadewa adalah Raja Bali berikutnya. Hal itu dapat diketahui melaiui Prasasti Sembiran bertahun Saka 897 atau 975 M. yang menerangkan tentang seorang raja bernama Sang Ratu Sri Jayasadhu Warmadewa


975 – 983 M Shri Wijaya Warmadewi (bukan keturunan Warmadewa). Beliau berhasil merebut tahta dari Shri Jayasadu Warmadewa. Namun wangsa Warmadewa dapat merebutnya kembali setelah 6 Tahun kemudian.


989 – 1011 M Shri Dharma Udayana Warmadewa bertahta di Bali bersama-sama dengan Permaisuri Shri Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni (cucu Mpu Sendok pendiri Kerajaan Medang Kamulan atau Kahuripan 927-947). Pada masa-masa pemerintahan Prabu Udayana berkuasa di Bali, datanglah seorang tokoh agama terkemuka dari Jawa bernama Mpu Kuturan. Beliau banyak melakukan penyempurnaan terutama dalam hal tata cara pemujaan. Selain mendirikan sejumlah tempat suci penting, beliau juga antara lain mengalih-bahasakan mantram dari bahasa Sanskerta menjadi bahasa Bali (bahasa Kawi atau bahasa Jawa kuno sekarang). Keharuman nama Mpu Kuturan di Bali sama mashurnya dengan Mpu Bharada (Bradah/Pradah) sang pengemban dharma dari Jawa Timur. Mpu Kuturan, penganut agama Budha Mahayana berprahyangan di Padangbai, di tempat itu sekarang telah dibangun Pura Silayukti. Beliau adalah penggagas “Samuan Tiga” yaitu pertemuan segi tiga antara penganut Budha Mahayana, Siwa dan Sekte-sekte Bali Aga, sehingga disepakati paham Trimurti, pembangunan Kahyangan Tiga serta Sanggah Kemulan. Nama agama saat itu adalah Siwa-Budha. Beliau juga mendirikan lembaga adat “Pakiran-kiran I Jero Makabehan” menggantikan lembaga adat Bali Aga “Kumpi Dyah Sanat” semacam Parisadha sekarang, Mpu Baradah datang untuk kali yang kedua ke Bali ketika ditugasi oleh Prabhu Airlangga guna menemui ayahanda beliau yakni Prabhu Udayana Warmadewa. Misinya adalah memohon agar salah satu dari dua putra Prabu Airlangga yang notabene adalah cucu Prabhu Udayana dijadikan Raja Bali. Misi beliau gagal lantaran rakat di Bali menghendaki agar Bali tetap dipimpin oleh warih Prabhu Udayana yang tetap setia di Bali. Prabhu Airlangga telah dianggap meninggalkan Bali karena telah menjadi Raja Jawa. Mpu Bharadah kemudian berperan membagi kerajaan Kahuripan menjadi dua kerajaan. Hal itu dilakukan untuk mengatasi perselisihan perebutan tahta oleh kedua putra Raja Airlangga. Kedua kerajaan itu kemudian bernama Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Panjalu (Kediri).

Pada zaman itu selain tumbuh subur agama Hindu, juga mulai berkembang pengaruh agama Budha. Kelima Pancakatirta yang berperan mengembangkan agama Hindu : Mpu Kuturan, Mpu Bharada, Mpu Gnijaya, Mpu Semeru dan Mpu Ghana adalah putra Mpu Tanuhun atau disebut juga Mpu Lampita. Mpu Tanuhun adalah putra Mpu Bajrasatwa disebut Mpu Wiradharma, Sementara itu Mpu Wiradharma adalah putra Mpu Mitadharma disebut juga Shri Mahadewa. Sedangkan Shri Mahadewa adalah putra dari Bhatara Hyang Genijaya. Hyang Geni Jaya dipuja oleh seluruh umat Hindu di Bali berparhyangan di Pura Lempuyang Luhur. Beliau adalah putra yoga Sang Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Mahameru (Sumeru). Menurut Mithologi Hindu bahwa Gunung Mahameru adalah puncak tertinggi Pegunungan Himalaya di India. Pada masa prasejarah sebanyak tiga bagian puncak gunung tertinggi di dunia itu konon dipindahkan atas kehendak Sang Hyang Pasupati. Satu puncaknya di turunkan di Pulau Jawa menjadi Gunung Semeru di Jawa Timur. Satunya lagi diturunkan di Bali menjadi Gunung Agung atau Tolangkir dan yang satu lagi menjadi Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Maksud dipindahkannya ketiga puncak dari banyak puncak Mahameru di India ke Nusantara adalah untuk keseimbangan dunia. Gunung Mahameru yang merupakan puncak tertinggi di deretan pegunungan Himalaya tetap berada di bagian Utara Khatulistiwa. Sedangkan keberadaan Gunung Semeru, Gunung Agung dan Gunung Rinjani berada pada posisi bagian Selatan Khatulistiwa. Munurut kepercayaan Hindu bahwa Mahameru, Gunung Semeru. Gunung Agung dan Gunung Rinjani adalah Sorga Loka. Puncak-puncak gunung tersebut adalah lokasi bersthananya para roh suci atau Bhatara.

Mpu Kuturan dan Mpu Bharada kelak menurunkan para sulinggih serta para bangsawan atau raja-raja di tanah Jawa dan Bali pada masa Majapahit. Temuan sejumlah prasasti yang mengungkap masa pemerintahan Bali era tahun Saka 911-989 banyak menyebut-nyebut nama raja Sang Ratu Luhur Sri Gunapria Dharmapatni (Mahendradatta) dan Sang Raja Maruhani Shri Dharmodayana Warmadewa (Udayana). Raja Udayana yang amat terkenal itu berputra tiga orang. Putranya yang pertama bernama Airlangga, kelak menjadi Raja Kahuripan di Jawa Timur 1019-1049 M, yang kedua dan ketiga Marakata dan Anak Wungsu. Prasasti Tengkulak bertahun Saka 945 menyebut nama raja Aji Paduka Shri Dharmawangsa Marakata Pangkaya Stanottungga- dewa (Prasasti Marakata). Berlanjut kemudian dalam tahun Saka 993 keluar prasasti Sima Merayung atas nama raja Anak Wungsu. Pada masa pemerintahan raja Anak Wungsu banyak diterbitkan prasasti yang berkaitan dengan kebijakan raja terhadap rakyatnya. Tahun Saka 971 Raja Anak Wungsu mengeluarkan prasasti yang menyebut penduduk Desa Trunyan memiliki adat-istiadat tersendiri. Prasasti terakhir yang dikeluarkan atas nama Raja Anak Wungsu bertahun Saka 999. Dinasti Udayana yang terakhir adalah anak putri dari Raja Anak Wungsu, yang naik takhta menjadi ratu. Raja Anak Wungsu tidak memiliki keturunan laki-laki. Sebagai penerus takhta kerajaan, putrinya sendiri yang bernama Sakalindu Kirana tampil menggantikannya dengan gelar Paduka Shri Maharaja Shr Sakalindu Kirana Sana Guna Dhrama Laksmi Dhara Wijaya Uttunggadewi. Ratu ini memerintah selama 13 tahun (Saka 1010-1023), yang kemudian dikenal juga dengan sebutan Ratu Pingit. Selama memerintah diperkirakan ia hanya mengeluarkan dua buah prasasti saja. Di Jawa Timur paman dari Ratu Pingit yaitu Prabhu Airlangga yang dijadikan anak angkat dan sekaligus menantu olehPrabu Dharmawangsa Raja Kahuripan 991 - 1016 M, kemudian menggantikan sang mertua sekaligus ayah angkatnya menjadi raja sejak tahun Saka 941 (1014 Masehi). Sejak itu Airlangga bergelar Rake Sri Halu Lokaswara Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikrama Tunggadewa.


999 M Mpu Semeru, penganut Siwa berprahyangan di Besakih selaku pengempon Pura Hyang Putranjaya (Pura Ratu Pasek).


1000 M Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya berprahyangan di Gelgel. Di tempat itu kemudian dibangun Pura Dasar Buana.


1006 M Mpu Gnijaya, penganut Brahmaisme berparhyangan di Gunung Lempuyang, di sana kini dibangun pura Lempuyang Madya


1007 M Mpu Bradah mengemban missi I ke Bali sebagai salah satu Pancakatirta. Selama di Bali beliau berparhyangan di Silayukti dan memprakarsai pembangunan Merajan pertama di Bali yang sekarang menjadi Pura Merajan Kanginan yang ada di komplek Besakih. Bhatara Mpu Bradah ada linggihnya di pura itu.


1022 – 1025 M Shri Marakata adik dari Shri Erlangga memerintah di Bali,


1049 – 1077 M Shri Anak Wungsu adalah adik dari Shri Matakata.


1079 – 1088 M Shri Walaprabu (dinasti Warman/Warmadewa)


1088 – 1115 M Shri Sakelendi Kirana (dinasti Warmadewa)


1115 – 1119 M Shri Suradipa (dinasti warmadewa) tercatat sebagai Raja Bali sebagaimana tersurat dalam sejumlah prasasti bertahun Saka 1037-1041 (1115-1119 Masehi). Beberapa prasasti menyebut-nyebut keberadaan raja I Paduka Shri Maharaja Shri Suradipa yang bergelar Shri Prabu Saksat Wisnu Murti Jagat Palaka Sakala Candra Ditya. Salah satu prasasti yang dikeluarkan raja itu mengungkap masalah yang terjadi antara penduduk Air Tabar (Desa Tajun sekarang) dengan pertapaan Indrapura (Desa Depeha sekarang). Masalah yang sama sesungguhnya telah terungkap pula pada masa-masa sebelumnya, seperti tertulis dalam prasasti Singha Mandawa tahun Saka 836 dan prasasti Shri Maharaja Wijaya Mahadewi tahun Saka 905. Berhubung penduduk Air Tabar tetap melaksanakan kewajibannya yaitu melakukan upacara ke hadapan Bhatara di Pucak Sinunggal (Bukit Tunggal), maka raja mengabulkan permohonan mereka untuk bebas dari kewajiban menyumbang upeti kepada penguasa Dharma Indrapura. Namun demikian raja tetap mewajibkan mereka membayar pajak kepada kerajaan.


1133 – 1150 M Sri Maharaja Jayashakti adalah Raja Bali dinasti Warmadewa berikutnya dan selama pemerintahannya mengeluarkan sembilan buah prasasti.


1155 M Sri Ragajaya (dinasti Warman / Warmadewa).


1157 – 1177 M Sri Jayakasunu (dinasti Warmadewa), perayaan Hari Raya Galungan kembali dilaksanakan setelah beberapa periode sempat terlupakan dikarenakan rakyat lalai akan kewajiban beribadat, akibatnya usia raja-raja relatif pendek.


1177 – 1181 M Shri Maharaja Jayapangus (dinasti Warmadewa) mengeluarkan 33 buah prasasti antara tahun Saka 1099 - 1103. Raja ini terkenal akhli sastra dan mendalami Agama Hindu. Nama kebesaran beliau adalah Paduka Shri Aji Jaya Pangus Arkaja Lancana. Pada masa ini Kerajaan Singasari di tanah Jawa diperintah oleh Raja Kertanegara 1268-1292 M. Salah satu mantan patih kerajaan itu yang kemudian cukup berpengaruh dan dihormati di Bali adalah Ki Patih Kebo Parud. Patih ini beralih ke Bali setelah keraton Singosasi hancur lebur akibat serangan armada Tiongkok tahun Saka 1214 dan Kertanegara ikut terbunuh. Pengaruh patih ini di Bali dapat dibuktikan ketika ia mengeluarkan prasasti tentang Desa Sukawana yang berbatasan dengan Balingkang bertahun Saka 1222. Tahun itu pula menandari berakhirnya pengaruh Kerajaan Singasari selama empat puluh tahun terhadap Kerajaan Bali.


1181 – 1200 M Shri Arjaya Jayaketana (dinasti Warmadewa).


1200 – 1204 M Shri Ekajaya Lancana (dinasti Warmadewa).


1204 M Shri Masula-Masuli (Raja kembar buncing/lanang-istri dinasti Warmadewa) beristana di Pejeng. Pada masa Pemerintahannya banyak pura yang di bangun berdasarkan konsep Siwa-Budha, antara lain : Pura Huluwatu, Pura Batukaru, Pura Tirta Empul lanjutan, Pura Sakenan dan Pura Tampurhyang.


1260 – 1268 M Shri Hyang Ning Hyang Adidewa Lancana dinasti Warmadewa, tahun 1268 M. Kerajaan Bali diserang dan dikuasai oleh Singasari. Raja Adidewa Lancana ditangkap dan dibawa ke Singasari. Setelah Singasari ditundukkan oleh Majapahit, raja-raja di Bali ditentukan dan diangkat oleh raja Majapahit.


1284 M Ki Kriyan Demung Mahisa Bungalan / Mahisa Rangkah (Patih Kbo Bungalan) penguasa pertama Bali yang diangkat oleh Kertanegara (Dandang Gendis) Raja Singosari. Raden Wijaya adalah salah satu tokoh terkenal di Jawa yang berada di balik misteri berakhimya kerajaan Singosari. Setelah Kerajaan Singosari lenyap maka berdirilah Kerajaan Majapahit pada tahun Saka 1215 atau 1293 M dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Wijaya. Pengaruh Kerajaan Majapahit secara berangsur-angsur mulai mengalir ke Bali, terlebih semenjak berakhirnya riwayat Patih Kebo Parud tahun Saka 1222. Sedangkan raja yang berkuasa di Bali pada masa itu adalah Paduka Sri Maharaja Sri Betara Mahaguru Dharmotungga Warmadewa atau Raja Betara Guru, sesuai dengan bunyi prasasti bertahun Saka 1247. Penerus takhta kerajaan setelah beliau wafat adalah putranya yaitu Wala Jaya alias Taruna Jaya tahun Saka 1250.


1296 M Ki Kebo Parud, yang menggantikan Kriyan Mahisa Bungalan. Pada saat pemerintahannya para Arya dan Bhujangga serta para Mpu keturunan Sapta Rsi berdatangan ke Bali. Penentuan kepemimpinan kerajaan Bali beralih ke Majapahit setelah Singasari ditaklukan. Maka dari itu Kekuasaan Bali dikembalikan kepada Dinasti Warmadewa.


1324 – 1328 M Shri Batara Mahaguru (Dinasti Warmadewa), beliau diangkat oleh raja Majapahit bernama Jayanegara (Kala Gemet) 1309-1328.


1328 – 1337 M Shri Walajaya Kertanhigrat (dinastiWarmadewa).


1337 – 1343 M Shri Asta Sura Ratna Bumi Banten (Shri Tapa Ulung (Tapolung Shri Gajah Waktra/Shri Gajah Wahana) dinasti Warmadewa. kerajaan Bali pada saat pemerintahannya diberi julukan “Bedahulu” oleh Majapahit, karena Shri Tapolung tidak mengakui lagi kedaulatan wilayah kerajaan Majapahit, sehingga kerajaan Bali diserang oleh Majapahit yang saat itu diperintah oleh Ratu Tri Bhuana Tunggadewi. Patih Ki Kebo Iwa dibunuh oleh pasukan Gajah Mada di Lemah Tulis Jawa Timur. Sedangkan Patih Ki Pasung Grigis ditawan dan di bawa ke Majapahit, kemudian diajak ke Sumbawa menggempur Raja Dedalanata, sama-sama tewas. Jatuhnya Kerajaan Bedahulu menandai berakhirnya pemerintahan Dinasti Warmadewa. Mahapatih Gajahmada beserta para arya menundukkan Bali: Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya Sentong, Arya Belog dan lainnya memimpin pasukan gabungan dari beberapa kerajaan bawahan Majapahit menyerang Bali. Pangeran Madatama, putra Shri Tapolung gugur dalam pertempuran di sekitar Kuta disusul mangkatnya Raja Bali Shri Asta Sura Ratna Bumi Banten, karena menanggung kesedihan yang amat mendalam atas gugurnya sang putra mahkota. Pada tahun Saka 1259 (1338 M) menurat prasasti Desa Langgahan tersebut nama Raja Bali bernama Asta Sura Ratna Bumi Banten. Beberapa kalangan versi Majapahit memperkirakan bahwa raja inilah reinkarnasi Mayadenawa, yaitu tokoh sakti mandraguna yang berakhir kisahnya setela disirnakan oleh Bhatara Indra. Nama lain dari Raja Bali yang amat sakti itu adalah Tapolung (Tapa Ulung). Ia menjadi rajamenggantikan ayahnya yang wafat bernama Prabhu Shri Masula Masuli atau Dalem Buncing. Gelar lain yang diberikan ole rakyatnya untuk raja Tapolung adalah Dalem Bedahulu atau Raja Bedulu. Ia juga bergelar Shri Gajah Waktra. Berkat kekuatan tapanya, ia kemudian memiliki kesaktiannya yang luar bias; Konon raja itu mampu mengembara ke alam lain dengan cara melepas jiwa dari badan raganya (ngeragasukma). Alkisah pada suatu ketika tatkala raja beserta rombongan beristirahat di Penelokan Kintamani, patihnya yang bernama Ki Pasung Grigis mengutarakan maksudnya ingin menyaksikan sendiri kesaktian junjungannya. Raja dengan bijaksana mengabulkan keinginan patihnya yang amat setia itu. Tak lama berselang raja pun mengambil sikap meditasi sempurna. Keanehan pun terjadi, Ki Pasung Grigis sontak dibikin takjub karena tiba-tiba saja kepala sang raja melesat ke angkasa dan berkelana menuju Sorga Loka. Setelah lama ditunggu-tungu kepala sang raja belum juga kembali, maka para abdi pun mulai kebingungan. Kegelisahan sang patih dan para menterinya kian memuncak, karena hingga tiga hari tiga malam menunggu, kepala sang raja belum jua kembali. Di tengah suasana kecemasan itu lantas mereka melihat seekor babi melintas di dekat mereka. Secara tiba-tiba pula timbul inspirasi Patih Ki Pasung Grigis untuk melakukan sesuatu tindakan mengganti kepala sang raja dengan kepala babi itu. Ketika hal itu selesai dilakukan oleh sang patih sakti itu, maka turunlah kepala sang raja yang asli hendak bersatu dengan badan raganya. Namun betapa murkanya Raja Tapolung atas kelancangan ulah patihnya itu. Kepala sang raja yang asli tak bisa lagi menyatu dengan badan raganya yang telah diganti dengan kepala babi. Mungkin sudah suratan takdir, kepala sang raja yang amat sakti itu pun akhirnya raib atau moksah sembari melancarkan kutukan “Dumigi Wong Bali kapejah wong len”. Sejak berganti kepala itulah beliau mendapat julukan Dalem Bedahulu (hulu = kepala). Raja Bedahulu kemudian membuat ketentuan yang tak boleh dilanggar, yakni barang siapa yang berani menatap wajah beliau, apalagi ketika sedang menghadap raja, maka saat itu juga mereka akan dihukum mati. Dalem Bedahulu memerintah jagat Bali di bantu oleh dua orang patih sakti dan tujuh orang menteri yang juga sakti-sakti. Patih Ki Pasung Grigis yang keturunan Mpu Sidimantra bermarkas di Tengkulak. Patih Ki Kebo Taruna atau Kebo Iwa keturunan Kiayi Karang Buncing berkedudukan di Blahbatuh. Menteri Ki Girikmana menjaga daerah sekitar Gunung Agung. Menteri Ki Tunjung Tutur bermukim di Tianyar. Menteri Ki Tunjung Biru bertempat tinggal di Tenganan. Menteri Ki Tambyak mewilayahi kawasan Jimbaran. Menteri Ki Buan bertugas memantau pegunungan Batur dan sekitarnya. Menteri Ki Kopang menetap di Seraya. Menteri Ki Walung Singkal mengambil posisi di Taro. Sedangkan Ki Gudung Basur dan Ki Kala Gemet diberi tugas sebagai Tumenggung yaitu membantu tugas-tugas umum para menteri kerajaan yang tempat tinggalnya selalu berpindah-pindah. Penguasa kerajaan Majapahit pada masa itu tahun Saka 1250 adalah Ratu Tribhuwana Tungga Dewi Jaya Wisnuwardana. Dalam menjalankan roda pemerintahannya beliau dibantu oleh Mahapatih Gajah Mada dan Damar Wulan alias Arya Damar atau Kertawardana. Dalam suatu persidangan paripuma kerajaan, sambil bangkit dari tempat duduknya, dengan mengepalkan tangan tinggi-tinggi Gajah Mada mengucapkan sumpah di hadapan raja dan para menteri lainnya. Isi sumpah mahapatih itu adalah sebelum Nusantara bersatu di bawah bendera Majapahit, ia tidak akan mau lagi menikmati kegemarannya yakni mengunyah daun sirih bercampur buah pala. Kelak bahkan hingga kini sumpah “Amukti Palapa” Mahapatih Gajah Mada yang amat terkenal dan menakjubkan itu dikenang oleh bangsanya. Guna mewujudkan sumpahnya itu, Mahapatih Majapahit yang terkenal sakti dan akhli strategi perang sekaligus akhli politik dan ketatanegaraan itu melakukan berbagai daya upaya agar seluruh kepulauan di Asia Tenggara ini dapat dipersatukan di bawah kerajaan Majapahit Raya. Satu persatu kerajaan-kerajaan besar maupun kecil yang tersebar di kepulauan Nusantara ini ditundukkan baik secara diplomasi maupun secara militer. Tentu saja tanpa didukung armada laut yang besar dan tangguh, tidak akan mungkin seluruh kepulauan yang terhampar di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia ini dapat dikuasai dan disatukan di bawah bendera Majapahit. Tidak cukup sampai di situ, wilayah taklukan Majapahit bahkan meluas hingga ujung tenggara daratan Benua Asia persisnya semenanjung Malaya (Malaysia sekarang), sebagian kepulauan Filipina serta sebagian daratan utara Benua Australia. Bukti-bukti otentik tentang besarnya pengaruh Kerajaan Majapahit, hingga kini masih ada di beberapa lokasi di Tanah Air. Penulis sempat mendatangi dan melihat langsung beberapa peningglan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumbawa. Di Lombok, Bima dan Dompu berupa makam yang disebut makam Gajah Mada oleh penduduk setempat. Sementara itu di musium bekas istana kerajaan Samawa di Kota Sumbawa Besar terdapat sejumlah keris kuno. Salah satu keris itu bernama Bhatara Sukin, yang merupakan pusaka kerajaan Majapahit yang dibawa ke sana oleh utusan raja yang ditugasi memerintah di Pulau Sumbawa ketika pulau itu ditaklukkan di bawah panji Majapahit. Sejumlah makam kuno yang ditemukan penduduk di berbagai wilayah Nusantara, yang terbikin dari batu-batu besar atau batu cadas mirip sarkopag disebut-sebut secara turun-temurun oleh penduduk setempat sebagai makam Gajah Mada. Arya Damar yang merupakan salah satu satria yang amat sakti dan pandai, ditugaskan oleh Majapahit sebagai penguasa di Pulau Sumatera dan semenanjung Melayu.


1343 M Bali ditaklukan oleh Mahapatih Gajahmada bersama para Arya dan sejak tahun ini tunduk dibawah kedaulatan Majapahit.


1343 – 1352 M I Gusti Agung Pasek Gelgel mendapat mandat sementara dari Majapahit ketika Bali mengalami kevakuman pemerintahan pasca berakhirnya kekuasaan Raja Bedahulu. Beliau ditugasi menjaga situasi yang masih belum stabil disebabkan oleh beberapa perlawanan dari orang-orang Bali Aga yang masih setia terhadap Raja Bedulu Shri Astasura Ratna Bumi Banten. Pemberontakan Tokawa Makambika 1345-1347 dipelopori oleh desa-desa di pedalaman yang masih setia terhadap kepemimpinan Sri Topolung.


1352 – 1380 M Shri Aji Kresna Kepakisan (Dalem Ketut Kresna Kepakisan) ditunjuk sebagai Adipati Bali. Pengangkatannya bersamaan dengan pengangkatan 5 Adipati lainnya : Dalem Wayan (Adipati Blambangan), Dalem Made (Adipati Pasuruan) Dalem Istri (seorang Putri menjadi Adipati Sumbawa), Arya Damar (Adityawarman Adipati Palembang), dan Kuda Wandira (Adipati Madura). Periode ini menandai dimulainya kekuasaan Dinasti Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan atau Dinasti Majapahit di Bali. Pada periode itu Pasek Tohjiwa diutus ke Tampurhyang Batur untuk mendamaikan pemberontakan orang-orang Bali Aga yang menentang pemerintahan Adipati Samplangan Shri Kresna Kepakisan. Beliau disebut Dalem Samprangan karena Berpuri di Samprangan Gianyar. 

Dalem Ketut menurunkan 5 putra yaitu: Dewa Agra Samprangan Dewa Tarukan, Dewa Ketut Ngulesir, Dewa Tegal Besung, Dewa Anom Pemayun dan 1 putri yaitu Dewa Ayu Wana (meninggal usia muda). Dewa Anora Pemayun saat usia 11 bulan diserahkan oleh Dalem untuk diangkat anak oleh Arya Kenceng (Arya Benculuk?) dan dianugerahi nama Arya Dalem Tegehkori. Kelak setelah dewasa Beliau menjadi Raja/Anglurah Badung berge Ki Gusti Tegehkori atau populer dengan sebutan Dalem Benculuk Tegehkori berpuri di Tonja (Puri Tonjaya).


1357 M Dampo (Dompu) dan Mbojo (Bima) diserang oleh Kyai Nala (Arya Damar) bersama Ki Pasung Grigis. Pasung Grigis gugur dalam perang tanding dengan Raja Dedela Natha di lereng Gunug Tambora Dompu.


1378 M Arya Dalem Tegehkori diangkat oleh Rakyat Gumi Badeng (Badung) menjadi Raja Badung diusia yang relatif muda yaitu sekitar 20 tahun. Beliau membangun puri di Tonja. (Puri Tonjaya). Beliau dikenal dengan sebutan Dalem Benculuk karena menjadi putra angkat Arya Kenceng (kenceng=suluk). Beliau pernah diangkat anak oleh Arya Kenceng (Anglurah Tambangan Tabanan) ketika bersia 11 bulan dan dipersaudarakan dengar Ngurah Tabanan ketika berpuri di Buahan. namun akibaT berselisih dengan saudara angkatnya itu maka Beliau meninggalkan Puri Buahan. Ketika nangun tapa semadhi pada sebuah lokasi di Ulun Danu Batur (Desa Songan), Ida Bhatara Dewi Danu menganugerahi slepa dan ajian mengecilkan raga ngeragsukma (kamoksan) lantas Beliau menjadi Raja Badung I.


1380 M Shri Agra Samprangau (Dalem Samprangan II) putra sulung Dalem Ketut naik tahta mengganti Dalem, berpuri di Samprangan Gianyar. Karena kegemarannya bersolek dan mengesampingkar tugas negara sehingga beliau dijuluki Dalem Ile.


1381 M Dewa Ketut Ngulesir naik tahta menggantikan Agra Samprangan atas prakarsa Tumenggung Kubon Tubuh (Keturunan Arya Kutawaringin). Raja Bali ini adalah adik bungsu Dalem Ngulesir. Beliau memindahkan purinya ke Desa Gelgel pada jeroan milik Ki Patih Kubon Tubuh. Dewa Ketut Ngulesir kemudian mabhiseka Dalem Semara Kepakisan atau Dalem Gelgel (I) karena beliau yang pertama beristana di Gelgel yaitu Puri Swecapura. Semasa itu Dewa Tarukan kakak Dalem Semara Kepakisan menyingkir ke Peninjoan (Bangli). Shri Semara Kepakisan adalah Raja Bali pertama yang berkunjung ke Majapahit yang pada saat itu diperintah oleh Shri Hayam Wuruk putra Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Bhagavanta yang didatangkan dari Jawa adalah Brahmana Keling menjadi purohita atau bhagavanta di Gelgel.


1452 M I Gusti Tegehkori Tonjaya naik tahta menggantikan ayahnya menjadi Raja Badung II berpuri di Tonja hingga tahun 1505


1460 M Shri Waturenggong putra Dalem Semara Kepakisan (Dalem Ketut Ngulesir) naik tahta menggantikan ayahandanya yang ketika itu sudah uzur. Beliau menjadi Dalem Gelgel (II). Dalem Waturenggong berturut-turut mengeluarkan Prasasti dalam kaitannya menyuruh warga Pande Bangke Maong untuk kembali ke desanya (Tamblingan) karena pada tahun 1481 M Tamblingan digempur oleh Arya Kenceng dan Mpu Saguna. Dalem Waturenggong berhasil membawa kerajaan Bali berada pada puncak kejayaan. Semasa pemerintahannya sekitar tahun 1480 datang seorang pendeta Siwa-Budha ke Bali beliau bernama Dang Hyang Niratha (Peranda Sakti Wawu Rauh / Mpu Semeru). Pedanda ini dijadikan bhagavanta dan mengajarkan ilmu kawisesan kepada Dalem, sehingga Dalem Waturenggong memiliki kesaktian yang amat tinggi guna menghadapi tantangan bernuansa teritorial dan eksistensi agama. Agama Hindu di Jawa yang ketika itu mengalami kemerosotan akibat masuknya pengaruh Islam yang mendesak Agama Hindu di Tanah Jawa. Pada masa kedatangan Danghyang Dwijendra Nirarta ke Bali sekaligus juga merupakan tanda awal dari sandyakalaning Majahapit. Raja Bali ketika itu kedatangan utusan Wali Songo atas nama Sultan Demak yang menyampaikan desakan agar Bali di “Islam”kan, Namun kedua tokoh itu yaitu Dalem Waturenggong dan Danghyang Nirarta menolak. Pada masa itu selain kedatangan pendeta Shiwa yaitu Danghyang Nirartha ada dua pendeta lagi dari Jawa yaitu pendeta Budha Danghyang Astapaka dan pedeta Shiwa Danghyang Angsoka. Tahun 1487 Dalem Waturenggong memerintahkan menyerang Blambangan dan Pasuruan. Pasukan Dulangmangap yang berjumlah 10.600 orang pimpinan Kyayi Ularan berhasil menundukkan kedua kerajaan itu. Dalem Juru Raja Blambangan gugur dalam penyerangan itu. Menyusul penyerangan ke Sasak, Sumbawa, Makasar dan Buton.


1500 M Raden Pangharsa (Dalem Pamayun/Dalem Bekung) putra sulung Dalem Sagening yang ketika usianya masih amat muda naik tahta menggantikan ayahnya yaitu Dalem Waturenggong. Dalem Gelgel (III) yang masih muda itu mempercayakan urusan pemerintahannya kepada 5 orang pamannya (adik lelaki ayahnya yaitu : Dewa Gedong Artha, Dewa Nusa, Dewa Pagedangan, Dewa Anggungan dan Dewa Bangli. Sebagai patih Ki Gusti Batan Jeruk. Kurang lebih selama 25 tahun masa pemerintahan Dalem Bekung (tidak punya keturunan) mengalami banyak kemunduran. Kerajaan luar Bali yang pernah ditundukkan oleh Dalem Waturenggong satu-persatu melepaskan diri dari pengaruh Dalem Gelgel. Terjadi pemberontakan pertama (I) di Istana Gelgel yang dilakukan oleh Patih Ki Gusti Batan Jeruk dan I Dewa Anggungan, dibantu oleh oleh Ki Gusti Tohjiwa. Pemberontakan dapat dipadamkan oleh pejabat kerajaan dan prajurit yang masih setia yaitu Arya Kubon Tubuh. Ki Batan Jeruk keturunan Ki Patih Arya Kepakisan dan Ki Tohjiwa dapat dibinasakan di Bungaya Karangasem. Pemberontakan kedua (II) dilakukan ole Ki Gusti Pande Basa beserta keluarga besar Pande yang dipicu oleh masalah perempuan/percintaan. Pemberontakan kedua ini juga dapat dipadamkan dengan tewasnya Krian Pande Basa. Kedua pemberontakan itu mengakibatkan kerusakan kotaraja Swecapura Gelgel.


1505 M I Gusti Tegehkori Dauh naik tahta menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Badung III berpuri di Tonja. namun akibat banjir bandang Sungai Ayung tahun 1545 M dibangunlah Puri Satria dan di puri yang kedua ini beliau melanjutkan pemerintahannya hingga tahun 1570 M.


1525 M Dalem Sagening naik tahta menjadi Raja Bali di Klungkung mengganti kakak beliau yaitu Dalem Bekung. Dalem Gelgel (IV ini menurunkan putra mahkota Dalem Dimade dan Ki Gusti Panji Sakti yang kelak menjadi Raja I Buleleng. Dalem Sagening memerintah hingga tahun 1570 M dan digantikan oleh putra Beliau yaitu Dalem Dimade.


1555 M Ki Barak putra Dalem Sagening lahir tahun ini dari ibu bernama Si Luh Pasek dari Desa Panji yang kelak menjadi Raja Buleleng bergelar Ki Gusti Panji Sakti pindah ke Denbukit (Buleleng) saat kanak-kanak (usia 11 tahun). Di usia yang amat muda itu Ki Barak dititah oleh ayahandanya yaitu Dalem Sagening untuk meninggalkan Gelgel ke Desa Panji Denbukit. Bersama ibunda beliau Si Luh Pasek dan dikawal oleh 40 orang prajurit pilihan mereka berangkat ke Denbukit dibawah pimpinan Ki Kadosot dan Ki Dumpyung. Menjelang keberangkatan Ki Barak dihadiahi keris sakti paica bhatara yang muncul secara tidak terduga oleh Dalem Sagening. Keris sakti itu mengantar Ki Barak menjadi Raja Buleleng I mabiseka Ki Gusti Panji Sakti. Jung (perahu) Tiongkok yang dinakhodai Dampu Awang yang kandas di pantai Panji Segara Penimbangan ditolong oleh Ki Panji Sakti menggunakan keris sakti yang bernama Ki Baru Semang itu. Seluruh isi perahu berupa keramik dan kain sutera dihadiahkan kepada Ki Barak.

Ki Barak mendapat pengakuan rakyat Denbukit menjadi penguasa menggantingan Ki Pungakan Gendis yang dikalahkan berkat kesaktian keris Ki Baru Semang. Mulai saat itu Ki Barak bergelar Ki Barak Panji Sakti dan kemudian menjadi anglurah raja/gustinya rakyat Denbukit bergelar Ki Gusti Panji Sakti, berpuri di Desa Panji. Beliau membentuk laskar bersenjata yang diberi nama Teruna Goak. Laskar ini terbentuk atas inspirasi permainan rakyat Megoak-goakan. Sepanjang kurun waktu 19 tahun pasca kekalahan Ki Paungakan Gendis, raja muda ini gencar melakukan penaklukan terhadap para penguasa lokal di sepanjang daerah Bali LItara. Mereka yang menyusul tunduk dan menyatakan berdaulat di bawah kepemimpinan Raja Panji Sakti antara lain Kiayi Sasangka Adri penguasa Tebusalah (Kalianget), Kiayi Alit Mandala penguasa Bondalem. I Gusti Tambahan penguasa Kubutambahan. Kerajaan Blambangan juga berhasil ditundukkan tahun 1590-1600 M.



1565 M I Gusti Tegehkori Tegal bertarung (duel) dengan I Gusti Ngurah Papak seorang keturunan Arya Kenceng Pucangan. berakhir dengan tewasnya I Gusti Tegehkori Tegal


1570 M Dalem Dimade naik takhta menggantikan Dalem Sagening beristana di Gelgel menjadi Dalem Gelgel (V).


1570 M I Gusti Tegehkori Tegal Buagan menjadi Raja Badung I\ menggantikan kedudukan ayahnya yang berkedudukan di Puri Satria.


1584 M Istana Sukasada Buleleng selesai dibangun oleh Raja Ki Gusti Panji Sakti.


1590 – 1600 M Raja Panji Sakti melakukan ekspedisi sebanyak tiga kali ke Blambangan di ujung timur Jawa Timur.


1602 M Ekspedisi Belanda masuk ke wilayah Nusantara, membangun basis perdagangan rempah-rempah dengan penduduk kampung Batawi (Betawi) di bantaran Kali Bata. Kawasan strategis itu kelak dinamai Batavia karena berkembang menjadi basis terpenting sebagai markas ekspansi militer Belanda sekaligus sentra sistem barter rempah-rempah yang dihasilkan penduduk lokal dengan keramik, candu dan sutra yang dibawa dari Eropa dan Asia. Belanda menjadikan Batavia kian terkenal sebagai pusat perdagangan bagi para saudagar dari India, China, Portugis dsbnya.


1604 M Puri Buleleng mulai dibangun oleh Raja Panji Sakti, letaknya di sebelah utara Puri Sukasada. Istana yang baru dibangun itu dinamai Puri Buleleng karena di kawasan itu para petani menanam buleleng (jagung gimbal/gembal) yaitu sejenis tanaman jagung yang buahnya menyerupai gimbal padi. Semenjak itu Kerajaan Denbukit lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Buleleng. Puri Buleleng dibangun untuk mengenang putra beliau yang gugur di Blambangan bernama Ki Gusti Panji Danudresta saat ekspedisi 1690-1600. Putra beliau yang pertama yaitu Ki Gusti Panji Gede diangkat menjadi Raja Blambangan setelah berhasil menundukkan penguasa Blambangan yaitu Pangeran Mas Tawang Alun dan Pangeran Mas Sedah.


1612 M Gunung Batur meletus dengan hebat, gempa vulkanik yang kuat merusak sejumlah besar bangunan di seluruh Bali.


1614 M I Gusti Panji Sakti membawa pasukan menyerang Badung, namun tidak mampu menundukkan Raja I Gusti Tegehkori Tegal Buagan, sebaliknya terjadi ikatan kekelurgaan sebagai sesama trah Dalem. Raja Panji Sakti mengambil istri dari kalangan Wesia di Badung, diboyong ke Buleleng. Tempat peperangannya hingga kini dinamai Taensiat.


1616 M Gunung Agung meletus dengan cukup hebat, dampaknya Puri Satria rusak parah. Raja Badung I Gusti Tegehkori Tegal Buagan berpindah dari Puri Satria ke Puri Tegal dan melanjutkan pemerintahannya di puri tersebut hingga tahun 1640 M. Puri Tegal itu dibangun oleh saudara beliau I Gusti Tegehkori Tegal.


1630 M Ki Gusti Panji Made putra kedua dari tiga putra Raja Panji Sakti naik tahta menggantikan ayahnya beristana di Puri Buleleng. Sedangkan kakak beliau yaitu Ki Gusti Panji Gede yang menjadi Raja Blambangan berpuri di Sukasada. Ki Gusti Panji Made adalah Raja Buleleng dinasti kedua Panji Sakti.


1633 M Wilayah timur mulai melepaskan diri dari kedaulatan Gelgel, berturut-turut Bima (Mbojo) dan Sumbawa (Samawa), kemudian Lombok (Sasak) direbut oleh Kerajaan Makassar.


1635 M Wilayah barat yaitu Blambangan direbut oleh Kerajaan Mataram.


1640 M I Gusti Tegehkori Tegal Kutha naik tahta menggantikan I Gusti Tegeh Tegal Buagan ayah beliau menjadi Raja Badung V dinasti Tegehkori. Beliau menjalankan pemerintahannya hingga 18 Juli 1687 M berpuri di Tegal Kutha. Pada dinasti ke lima Tegehkori inilah terjadi goro-goro hingga Pralaya /Uwug Badung. Pemicunya adalah masalah pinangan Kiyayi jambe Merik terhadap putrinya yaknt Ni Gusti Ayu Genjot yang ditolak oleh raja. Sebuah sekenario perebutan kekuasaan yang mungkin saja telah direncanakan jauh sebelumnya.


1648 M Buleleng membantu Mataram menggempur Blambangan. Raja Mataram (Dalem Solo) menghadiahi Ki Gusti Panji Made berupa gajah dan ditempatkan di Banjar Petak dan Banjar Peguyangan Sedangkan pengawal gajah yang warga muslim Solo ditempatkan di Banjar Jawa. Kelak warga muslim itu sebagian menetap di Desa Pegayaman menjadi petani dan sebagian menjadi saudagar di bilangan pesisir pantai berbaur dengan para saudagar dari Bugis membentuk Kampung Bugis.


1651 M Patih I Gusti Agung Maruti dan I Gusti Ketut Karangasem berhasil menyerang dan menguasai Lombok dan Sumbawa Namun akibat salah paham terhadap Dalem, maka pada tahun yang sama I Gusti Agung Maruti melakukan kudeta dibantu rakyat Karangasem terhadap kepemimpinan Dalem Dimade. Puri Gelgel berhasil dikuasi dan Ki Gusti Agung Maruti, ia mengangkat dirinya sebagai Raja Gelgel. Dalem Dimade yang ketika itu sudah uzur bersama keluarga menyingkir ke Desa Guliang di Gianyar Di sana beliau mendirikan keraton baru dan wafat di purinya yang baru itu, kedudukannya diganti oleh putranya yaitu Dewa Agung Jambe. Puri Gelgel berantakan dan riwayatnya berakhir. Pada saat pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Gelgel, Kerajaar Tabanan memperluas daerah kekuasaannya dengan menyerang Pandak, Kekeran, Kediri dan Nyitdah.


1655 M Raja Panji Sakti genap berusia 100 tahun. Beliau menjalani masa lungsur keprabon ketika menginjak usia senja, sekitar 75 tahun. Sebagai seorang keturunan Brahmana Mpu Bradah dan Mpu Kepakisan kehidupan wanaprasta lan bhiksuka beliau jalani di Puri Panji (Pamereman Panji) menjelang akhir hayat hingga mencapai moksah. Tempat payogan (petilasan) Beliau masih ada hingga kini dan menjadi tempat suci bagi krama Buleleng untuk memuliakan/memuja Beliau.


1671 M Raja Badung V yakni I Gusti Tegeh Tegal Kutha diserang ole saudara sepupu angkatnya yaitu Kyayi Jambe Merik keturunan Arya Kenceng. Perang saudara berlangsung selama lebih setengah abad abad (1671 - 1724 M). Raja Badung beserta seluruh keluarga besar menyingkir ke berbagai penjuru. Sanak keluarga lainnya menyebar ke beberapa desa di Bali, Raja Badung dinasti Tegehkori V mengakhiri kekuasaan pada 16 Juli 1687 M. Raja dinasti Tegehkori VI dan VII masih terus melakukan perlawanan karena didukung oleh rakyat yang masih setia. Namun akibat pertahanan yang kian melemah, maka pada tahun 1724 M diputuskanlah mengalah dan berpindah ke daerah lainnya yang relatif lebih aman.


1676 M Desa Tulamben diserang dan dibakar oleh orang-orang Makassar pimpinan Karaeng Tallolo. Penduduknya yang berjumlah 5.900 orang mengungsi. Semenjak itulah Desa Tulamben menjadi sepi/mati. Disusul kemudian Bangli memutuskan diri menjadi kerajaan sendiri lepas dari kedaulatan Gelgel. Peristiwa Tulamben ini sangat menjatuhkan gengsi Ki Gusti Agung Maruti yang mengangkat diri menjadi Raja Gelgel di mata para anglurah Bali lainnya.


1677 M Penyerangan pasukan gabungan dari Kerajaan Buleleng (Ki Gusti Panji Made), Sidemen (I Gusti Sidemen) dan Badung (I Gusti Jambe Merik dari Puri Alang Badung dan Kiayi Anglurah Pamecutan Macan Gading) untuk mengembalikan takhta dinasti Dalem Sri Kresna Kepakisan yaitu I Dewa Agung Jambe (putra Dalem Dimade). I Gusti Agung Maruti kalah dan melarikan diri ke kawasan Jimbaran, kemudian ke wilayah Kapal dan beralih ke Desa Keramas di Gianyar mendirikan puri di sana. I Gusti Jambe Merik bersama saudaranya yaitu Anglurah Macan Gading tewas dalam peperangan itu.

I Dewa Agung Jambe putra Dalem Dimade naik tahta dan memindahkan pusat kekuasaan (kotaraja) dari Gelgel ke Klungkung membangun puri berturut-turut : Puri Semarapura/ Semarabawa/Semarajaya. Sedangkan kakaknya yaitu Dewa Mayun diangkat menjadi Punggawa di Tampaksiring. Sebutan untuk raja tidak lagi menggunakan istilah Dalem, mulai saat itu sebutan Raja Bali adalah Dewa Agung. Sejak masa itu rakyat Bali menyebut rajanya Dewa Agung Klungkung.

Ada beberapa alasan mengapa Dewa Agung Jambe memindahkan istananya dari Puri Swecapura di Gelgel ke Klungkung, antara lain: Puri Gelgel dinilai telah kehilangan takus karena telah 26 tahun ditinggalkan menyingkir dan juga lantaran selama berpuri di Gelgel leluhurnya telah tiga kali mengalami guncangan kudeta dan selama itu pula puri dihuni oleh para bawahannya, sehingga praktis Puri Gelgel dinilai cuntaka/cemer/leteh dan tidak layak kembali dibangun dan dihuni menjadi puri raja.

Pusaka penting Dinasti Kepakisan dari sejak zaman Samprangan Gelgel dan Klungkung pemberian Mahapatih Gajahmada berupa keris yang dibawa ke Puri Semarapura : I Durga Dingkul, I Lobar (Ki Bengawan Canggu). Berupa tombak I Baru Ngit, I Bau Gudug. Keris pusaka lainnya : I Raksasa Bedak. I Masayu, I Karandan, I Arda Ulika, I Pencok Saang, I Langlang Dewa, I Baan Kau, I Baru Caak.

Raja-raja Klungkung (Semarapura) dinasti Kepakisan sebanyak 10 orang dari 9 generasi : 1) Shri Agung Jambe. 2) Dewa Agung Made. 3) Dewa Agung Dimadya. 4) Dewa Agung Sakti. 5) Dewa Agung Putra I (Kusamba), 6) Dewa Agung Putra II (Balemas). 7) Dewa Agung Istri (Raja Kania/Dewa Agung Istri Balemas), 8) Dewa Agung Ketut Agung. 9) Dewa Agung Putra III (Betara Dalem Ring Rum/Dewa Agung Gede). 10) Dewa Agung Jambe Raja ke 10 itu adalah raja yang terakhir, gugur bersama keluarga istana dan laskar rakyat di medan perang puputan sebagai kusuma bangsa.


1687 M Akhir Tahta Dinasti Tegehkori di Kerajaan Badung I Gusti Tegehkori Tegal Kutha akibat perang saudara dengan trah Arya Kenceng yang notabene adalah keturunan saudara angkat leluhurnya. Raja Badung V inilah yang sebelumnya pernah mengangkat Kiyayi Merik sebagai putra angkatnya dengan nama I Gusti Nyoman Tegeh yang kemudian mengambil-alih kekuasaan pemerintahan Kerajaan Badung.


1711 M Atas permohonan Raja Mangui Cokorda Sakti Blambangan (I Gusti Agung Putu) kepada I Dewa Agung Jambe, maka putra I Dewa Agung Jambe yaitu I Dewa Sirikan dinobatkan menjadi raja dan dibuatkan puri bernama Sukawati. Pada masa-masa itu juga Pedanda Sakti Bukian dimohon untuk dijadikan purohita oleh I Gusti Agung Putu. Beliau diiring oleh 50 orang warga Kayuputih dan 100 warga Banyuatis. Pada masa itu Tabanan dengan bantuan Mengwi menggempur Penebel.


1724 M I Gusti Made Tegeh dinasti Tegehkori VII ketika menyingkir ke Denbukit bertemu dengan Raja Panji Sakti II (I Gusti Panji Made) di Puri Sukasada. Ketika Raja Panji Sakti II hendak menyerang Kalianget, kepemimpinan pasukannya dipercayakan kepada I Gusti Made Tegeh. Kelak atas restu Dalem Mengwi dan atas kesetiannya terhadap Raja Panji Sakti II maka oleh Ki Gusti Panji Sakti II beliau dijadikan Punggawa di Buleleng Barat hingga Gilimanuk dan berkedudukan di Pengastulan (Jero Lingsir). Trah I Gusti Tegehkori VII ini membangun puri di Banjar Sari (kelak kemudian berubah menjadi Banjar Pala setelah Kemerdekaan RI, yaitu ketika Desa Pengastulan mengalami pemekaran dari 2 banjar menjadi 3 banjar yakni Banjar Pala di tengahnya Desa Pengastulan hingga ke barat, Banjar Sari di timurnya dan Banjar Purwa di selatannya). Jero Lingsir persis berada di pusatnya (tengah) desa. Pura pemujaan terhadap leluhur/kawitan pun dibangun di sebelah barat areal jeroan/purinya. Pura pemujaan leluhur itu diberi nama Pura Badung untuk mengenang bahwa beliau terdahulunya adalah keturunan Raja Badung. Semenjak itulah hingga keturunannya menanggalkan sebutan I Gusti. Sementara itu pada tahun yang sama I Gusti Tegeh Tegal yang merupakan generasi VI, paman dari I Gusti Made Tegeh mengabdi di Kerajaan Gianyar, kemudian mendirikan Puri Tegal Tamu.


1755 M Pande Beratan (Tamblingan dan sekitarnya) diserang oleh Pasek Kayu Selem (Batur) mengakibatkan semua warga Pande Beratan menyingkir.


1801 M Perang Gianyar - Bangli.


1814 M Kerajaan Mengwi diserang oleh Kerajaan Tabanan dan Badung. I Gusti Ngurah Karang (Raja Mengwi) terbunuh dalam serangan itu. Pada masa-masa itu Badung dan Tabanan (I Gusti Ngurah Made Kaleran) berperang melawan Gianyar hingga ketiga kerajaan itu mengadakan perdamaian di Pura Nambangan Badung. Usai perdamaian itu I Gusti Made Kaleran ditikam oleh Gusti Ngurah Rai dari Bengkawang, akibatnya I Gusti Ngurah Rai dihukum mati (Batu Gumulung).


1815 M Belabar Agung (banjir bandang) Danau Tamblangan jebol dan menyapu Puri Sukasada serta desa-desa di Buleleng bagian tengah. Kawasan sekitar danau yang jebol itu dikenal dengan sebutan Benyah (hancur).


1818 M I Nyoman Rawos Punggawa Pengastulan bersenjatakan keris pusaka Ki Hiring Lalemon ditugasi oleh Raja Buleleng (Dinasti Raja Karangasem) menyerang Jembrana yang pada saat itu dikuasai oleh Kerajaan Badung. Kapten Pattini yang menjadi wakil penguasa Kerajaan Badung di Jembrana tewas dalam penyerangan itu. Wilayah Jembrana kembali dibawah kedaulatan Buleleng.


1846 M I Dewa Agung Putra (Raja Klungkung) berunding dengan Pati Kerajaan Buleleng I Gusti Ketut Jelantik untuk menyerang Kerajaan Bangli. Peristiwa itu terjadi sebelum meletus Perang Jagaraga melawan invasi militer Belanda. Buleleng dengan Taruna Goaknya yang dipimpin oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik, Punggawa Pengastulan Wayan Rawos (putra Punggawa I Nyoman Rawos) dan Punggawa Banjar Ida Made Tamu ditugasi menyerang Batur, Payangan dan sekitarnya.


1846-1849 M Perang Jagaraga (Perang Buleleng) berlangsung selama 3 tahun Pasukan Darat Belanda dipimpin Letkol G. Bakker, dan pasukan Lautnya dipimpin Letkol A.C.J. Smith van Den Broek. Peperangan yang memakan waktu lama itu menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Puri Buleleng hancur lebur, benteng pertahanan di Desa Jagaraga berhasil dijebol pasukan altileri Belanda. Jero Jempiring istri Patih I Gusti Ketut Jelantik yang ikut memimpin pasukan tewas secara herois ketika menghadang laju pasukan Belanda menggempur benteng Jagaraga. Raja Buleleng dan Patih Jelantik yang sama-sama asal Kerajaan Karangasem terbunuh di Tanah Barak Karangasem saat menyingkir. Sementara itu Punggawa Wayan Rawos ketika ikut dalam penyingkiran itu membawa keris pusaka Ki Hiring Lalemon selamat dan bermukim dan Desa Sibetan. Punggawa Wayan Rawos kawin dengan perempuan di desa itu hingga lahir putranya diberi nama I Sibetan. Sekembali I Gusti Wayan Rawos ke Pengastulan didapatinya saudara sepupunya (misan ngarep) yaitu I Gusti Wayan Tunaji telah diangkat oleh Belanda menjadi Punggawa Pengastulan.


24-5 - 1849 M Perang Kusamba berlangsung setelah Buleleng jatuh, panglima militer Belanda Jenendral Michiels bersama beberapa perwira dan opsir tewas oleh serangan para prajurit srikandi Klungkung yaitu Dewa Agung Istri Kania. Perang 24 jam itu menewaskan 800 orang prajurit Klungkung dan lebih 1.000 orang terluka.


1858 M Pemberontakan I Nyoman Gempol anak dari I Wayar Liyar (Punggawa Banjar Jawa) terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda.


1868 M Perang Banjar melawan Belanda yang dipelopori oleh Ida Made Rai (Punggawa Banjar). Dua orang letnan tentara Belanda tewas dan dibuatkan kuburan di pantai Temukus. Untuk mengenang Perang Banjar oleh para pejuang dibuatlah sebuah monumen berbentuk tugu pada sebidang tebing di arah selatan makam kedua letnan Belanda itu yaitu di bukit Singsing Temukus.


1890 M Bangli menyerang Gianyar dan berhasil merebut daerah Petak dan Suwat. Karena merasa terancam Gianyar lalu minta bantuan kepada Belanda. Mulai saat itu Raja Gianyar dibawah pengaruh kolonialis Belanda.


28-4-1908 M Puputan Klungkung mengakhiri kedaulatan Kerajaan Bali setelah gugurnya Raja Dewa Agung Jambe, Dewa Gde Smarabawa (bupati saudara raja), Dewa Agung Gede Agung (putra mahkota 12 tahun), para putra selir, Tjokorda Raka Pak, Tjokorda Made Batu, Tjokorda Gede Oka, Tjokorda Rai Lentir, Tjokorda Rai Buntit, dua permaisuri raja, ibunda raja, tiga ibu suri ayahnda raja, total keseluruhan bersama prajurit dan kerabat puri sebanyak 108 orang, luka-luka 80 orang. Laskar Belanda dipimpin oleh Letkol Von Schauroth.

Usai perang puputan itu, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengendalikan pemerintahan para raja di Bali.


20-9-1909 M Puputan Badung menyisakan banyak korban. Raja Badung I Gusti Ngurah Made Agung (Tjokorda Ngurah Made Agung gugur di medan laga. Tewasnya raja yang berusia muda itu mendapat sebutan kehormatan Tjokorda Mantuk ring Rana (artinya : raja yang gugur dalam perang). Ikut gugur seluruh keluarga puri, kerabat, prajurit sebanyak 1.400 orang termasuk Tjokorda Pemecutan. Laskar Belanda dipimpin Mayor Jenderal Rost van Tonningen. Lokasi puputan di Taensiat dan Pemecutan.


17-8-1945 M Proklamasi Kemerdekaan RI. Gubernur Bali yang pertama adalah Mr. I Goesti Ketoet Poedja berasal dari Singaraja Buleleng, telah diangkat oleh Pemerintah RI menjadi Pahlawan Nasional.

Tentang Penulis

  Penulis     Drs. I Gusti Nyoman Suartha Kelahiran Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt Kab. Buleleng, 23 Oktober 1952, Pendidikan Insti...