Minggu, 06 September 2020

Dinasti Raja Badung I Gusti Tegehkori



Intrik politik berupa rebutan pengaruh di Puri Linggarsha membawa akses bagi Arya Kenceng. Pada suatu ketika Patih kerajaan yang diberi kekuasaan di wilayah Tambangan (Tabanan) terkena fitnah dari seorang kerabatnya sesama pepatih. Dalem marah, Arya Kenceng dijatuhi hukuman ngayah di Puri. Berselang beberapa lama, bermaksud lepas dari hukuman, dilancarkanlah siasat yang cukup halus. Adalah Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan ketika itu tengah dihadap oleh para pejabat kerajaan. Tiba-tiba bahu Beliau terasa ada yang menggapai. Ketika ditoleh ke belakang terlihatlah putra Beliau yang bernama I Dewa Pemayun tegeh ring uri. Yang lebih membuat kaget bercampur amarah, ternyata Arya Kenceng-lah yang mendalangi kejadian singkat itu. Perlakuan seperti itulah yang membuat Dalem harus mengambil keputusan seketika. Mulai saat itu pula sang putra yang berusia sebelas bulan kedarmaputra kepada Arya Kenceng dan dianugerahinya nama baru yakni I Gusti Tegehkori. Dalem menyerahkan anak balita yang belum mengenal dosa itu kepada Arya Kenceng. Oleh karena (baan) cekatan (suluk) gerakan Beliau merangkak dan dilihat oleh Dalem lebih tinggi (tegeh) di belakang (uri / kuri = kori), maka saat itu pula beliau mendapat sebutan Dalem Baansuluk Tegehkori. Balita itu lantas dibawa ke Buahan, dijadikan anak angkat dan dipersaudarakan dengan putra kesayangan Arya Kenceng yaitu Ngurah Tambangan (Tabanan). Setelah dewasa, atas anugerah Ida Bhatara Dewi Danu Batur dan atas kehendak rakyat, Beliau dinobatkan menjadi Raja Badung. Istana untuk sang raja dibangun pertama kali di Tonja bernama Puri Tonjaya. Di sebelah timur laut (hulu istana) Beliau membangun pura dengan penyawangan utama Ida Bhatara Purusha Tohlangkir (Gunung Agung). Pura ini kelak diberi nama Pura Dalem Benculuk karena di tengah-tengahnya terdapat gedong pedharman Bhatara Arya Dalem Baansuluk Tegehkuri. Piodalun di pura ini jatuh pada setiap Pemacekan Agung Soma Kliwon Kuningan setiap 210 hari. Sedangkan di sebelah barat laut istana, Beliau membangun Pura Pradhana sebagai genah pemujaan terhadap Ida Bhatari Dewi Danu Batursari (Gunung Batur).


Pura Batursari dibangun oleh Dalem Tegehkori sebagai genah memuja dan memuliakan Ida Bhatari Guru Nabe Aji Kamoksan Hyang Bhatari Dewi Danu Hatursari sekaligus genah mensthanakan anugerah Slepa di Gedong Ratu Gede Batursari. Selepa itu gaib ketika Ida Arya Dalem Tegehkori Moksasukha ring Achintya. Sebagai Pura Pradhana, pura ini tergolong pura yang khusus untuk memohon kesejahteraan, kemakmuran, kecerdasan, kawaskitan lan kasidian. Piodalannya jatuh pada Buda Wege Kelawu setiap 210 hari. Kedua tempat suci itu ditinggalkan menyingkir oleh keturunan Beliau ketika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh I Gusti Pucangan (Jambe Pule). Akibat perang saudara sekitar tahun 1586 M itu istana Dalem Bansuluk sineb tiada bekasnya. Sedangkan Puri Satria (Ksatrya) masih ada sisa-sisanya terutama arealnya yang cukup luas beserta pamerajannya. Puri beserta Merajan Agung Satria diambil alih I Gusti Pucangan/ Jambe Pule yang kemudian mabhiseka Prabhu Bendana.


Tidak dijelaskan seberapa lama warisan Kawitan di Tonja sempat ditinggalkan. Sadar akan akibat buruk jika melupakan Kawitan, maka sesuai Raja bhisama yang tersurat dalam Babad, lantas Pura Dalem Bansuluk Tegehkori yang terletak di luan bekas areal puri dipugar oleh para damuh Beliau. Kedua pura itu kini statusnya menjadi Pura Kawitan Dalem Badung Tegehkori. Ribuan keturunan Beliau yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara menyungsung Pura Kawitan Dalem Badung dan Pura Batursari di Kelurahan Tonja Denpasar.


Anugerah Salepa dan Aji Kalepasan dari Ida Bhatara Guru Nabe Dewi Danu Batursari mengantar hari tua Beliau mencapai moksa. Sebelum Moksasukha ring Achintya menjelang lungsur kaprabon Beliau merintis penulisan Rajapurana. Pada zaman Beliau itu adalah masa-masa keemasan penulisan Rajapurana atau Prasasti. Penulisan Rajapurana itu dilanjutkan hingga Dinasti Tegehkuri VII.


Setelah I Gusti Tegehkori VII meninggalkan takhta/status dari Raja Badung menjadi Punggawa Pengastulan penulisan Rajapurana masih dilanjutkan. Untuk memudahkan memahami isi Rajapurana tidak jarang para akhli warisnya membuatkan Babadnya. Babad adalah semacam biografi para tokoh terkenal sekelas raja dan pendeta pada zaman kerajaan. Babad I Gusti Tegehkori dibuat oleh para akhli warisnya. Generasi penerus I Gusti Tegehkori yang tersebar di berbagai penjuru di Bali selain yang ke Pengastulan diketahui ada juga yang membuat Prasasti/Babad/Silsilah sendiri sesuai dengan kejadian, tuturtinular, atau versi setempat. Itulah sebabnya mengapa di beberapa tempat dijumpai Raja purana/Prasasti yang antara lain menyebut-nyebut Arya Dalem Benculuk Tegehkori. Agar tidak terjebak dalam silang pendapat, seyogianya semua pihak berhati-hati membaca dan membuat penafsiran atas isi babad/prasasti/silsilah. Tidak jarang dijumpai adanya perbedaan isi babad/prasasti/silsilah satu dengan yang lainnya. Terlebih menyangkut nama tokoh yang amat dihormati atau dikagumi, tak jarang nama-nama tokoh atau leluhur ditulis sesuai dengan kepentingan masing-masing.


Pada masa silam tradisi menyimpan prasasti/purana dan sebagainya adalah di meru pura atau merajan. Raja purana/Prasasti yang dibawa ketika Puri Satria diserang, kini berada di Jero Agung Pengastulan. Prasasti itu awalnya disimpan di Meru tumpang solas Pura Badung Pengastulan. Punggawa Pengastulan bertempat tinggal di Gedong Lingsir (Umahe Tua) yang letaknya di timur Pura Badung. Jeroan Punggawa Pengastulan itu kemudian bernama Jero Lingsir Mangku Pabean Pengastulan. Guna menghindari upaya perampasan naskah-naskah rontal yang kerap dilakukan oleh kolonialis Belanda, maka oleh para semeton Punggawa I Gusti Wayan Rawos/Punggawa I Gusti Wayan Tunaji dipindahkanlah prasasti itu ke Umahe Tua. Agar terjaga keutuhannya, prasasti itu di simpan pada sebuah keropak (kotak kayu) berukir Singaminambara. Ukiran pada bagian hulu berbentuk kepala Singa (raja hutan) dan pada bagian bahu hingga ekor berbentuk Mina (ikan) dan bersayap (terbang/ambara). Versi lain menamai tempat penyimpanan prasasti itu kropak Shardulamina atau sebentuk patung berwujud ikan berkepala macan.


Prasasti Kawitan kerap dibaca oleh beberapa generasi Beliau di Pengastulan. Salah satunya adalah I Gusti Putu Anom ayahda I Gusti Putu Suweta, kakek dari I Gusti Putu Artana. I Gusti Putu Anom adalah salah seorang penekun sastra Kawi di Jero Agung. Beliau adalah generasi ke empat Punggawa I Gusti Wayan Tunaji. Merajan Pungawa Tunaji adalah di tempat I Gusti Putu Artana. Merajan itu dibangun oleh ayah beliau bernama I Gusti Wayan Alab. putra Punggawa I Gusti Meling. I Gusti Wayan Alab adalah saudara kandung Punggawa I Gusti Nyoman Rawos. Punggawa I Gusti Nyoman Rawos adalah ayah Punggawa I Gusti Wayan Raos (I Cekrok). Saat Perang Jagaraga tahun 1846 - 1849 Punggawa I Gusti Wayan Raos adalah saorang pemimpin laksar perjuangan dari Buleleng Barat dibawah komando Patih I Gusti Ketut Jelantik. Punggawa I Gusti Wayan Tunaji adalah punggawa terakhir di Pengastulan dari keturunan I Gusti Keropak. Ketika Punggawa I Gusti Wayan Tunaji berpulang secara mendadak, upacara atiwa-atiwanya diselenggarakan di Jro Lingsir / umahe tua. Sedangkan putra beliau yang bernama I Gusti Gede Rai pernah menjadi punggawa di Distrik Kesiman Badung. Mulai dari generasi I Gusti Gede Rai dibikin pemerajan alitan di jeroan I Gusti Ngurah Susanta sekarang. Prasasti itu kini disimpan oleh I Gusti Ngurah Susanta yang merupakan cucu dari I Gusti Gede Rai. I Gusti Ngurah Susanta, Dr.SpA pernah menjadi Ketua Dadia Jero Agung. Setiap rerahinan di Pura Badung dan piodalan di pura kahyangan tiga. Desa Pakraman Pengastulan Prasasti itu senantiasa diusung ke Pura Badung dan ikut serta melasti ke segara. Belum lama ini Prasasti itu diklaim hanya milik keluarga besar Dadia Jero Agung. Keinginan warga 5 dadia sepurusa lainnya untuk mengetahui isi Prasasti itu selalu ditolak. Termasuk Keluarga Besar Tegehkori di Tonja pun sejak lama mendesak Jero Agung agar dijinkan membaca Prasasti atau Rajapurana itu, namun selalu ditolak. Dadia-dadia penyungsung Pura Badung sejatinya telah amat lama menuntut pembacaan Prasasti tersebut, tetapi tidak pernah direspon positip. Tuntutan itu berbiak menjadi persoalan serius dan masuk ke wilayah hukum. Persoalan hukumnya adalah karena Prasasti itu dijadikan referensi oleh salah seorang sameton warga Jero Agung yang bernama I Gusti Putu Antara penulis buku yang bertajuk “Pura Badung”, Penulisnya melakukan penghinaan dan membuat perasaan tidak menyenangkan terhadap krama dadia lainnya. Namun kini persoalan tersebut telah usai dengan penuh pengertian dan saling menghormati.


I Gusti Tegehkori VII (I Gusti Made Tegeh)

dari Raja menjadi Punggawa


Dinasti Tegehkori memerintah Kerajaan Badung mulai dari generasi pertama tahun 1378 Masehi. Pada generasi V terjadi Pralaya Uwug Badung yang berlangsung selama lima puluh tiga tahun yakni dari tahun 1671 hingga 1724 M. Mungkin sudah merupakan pituduh dari Ida Sang Hyang Widhi, bahwa Raja Badung Tegehkuri V yang ketika itu berpuri di Tegal Kutha, harus menyingkir akibat amukan laskar Kiyayi Jambe Merik. Perang saudara selama puluhan tahun itu mengakibatkan trah Tegehkori menyingkir dari semua puri (Tegal, Satria dan Tonjaya). Sebuah pilihan terbaik untuk menghindari jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak. Pertikaian yang berlangsung sangat lama itu dimulai dengan peristiwa ditolaknya pinangan dari sepupu angkat beliau dari keturunan Arya Kenceng yakni Kiyayi Jambe Merik. Penolakan itu membikin ketersinggungan berat yang berujung konflik. Kiyayi Jambe Merik mengerahkan laskarnya hingga berhasil menyingkirkan Raja V yakni I Gusti Tegeh Tegal Kutha pada tahun 1671. Kiyayi kemudian naik tahta bergelar Prabhu Bendana bersistana di Puri Tegal. Beliau adalah Raja Badung pertama dari dinasti Arya Kenceng.


I Gusti Tegehkori VI yang lahir di Puri Tegal menyingkir ke wilayah Kapal / Mengwi sambil terus mengadakan perlawanan terhadap Prabu Bandhana. namun kemudian mengabdi ke Kerajaan Gianyar dan berpuri di Tegal Tamu. Sedangkan I Gusti Tegehkori VII yang lahir di Puri Satria menyingkir ke Denbukit pada tahun 1724 M, berjumpa dengan Raja Panji Sakti II (I Gusti Panji Made) di Puri Sukasada. Sebelum beristana di Puri Sukasada, ayah beliau Raja Panji Sakti I beristana di Puri Panji. Desa Panji adalah tempat asal ibunda Beliau. Atas restu Raja Mangui maka Raja Denbukit mengangkat I Gusti Made Tegeh (dinasti Tegehkori VII) menjadi Punggawa I Pengastulan. Raja Panji Sakti I adalah putra Dalem Sagening. Dalem Sagening adalah genersi ke empat dari Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan. Trah Tegehkori dan trah Panji Sakti adalah sama trah Dalem Shri Kresna Kepakisan.


Tonggak bersejarah lungsur kaprabhon lan nyineb prawangsa diputuskan ketika dinasti Tegehkori meninggalkan semua puri menyebar ke berbagai arah, akibat amukan prajurit Pucangan. Selanjutnya di sini diceritakan episode penyingkiran yang menuju Denbukit (Buleleng) hingga Pengastulan. Setelah menempuh perjalanan jauh menembus hutan belantara Wanagiri dan melintasi pinggiran Danau Beratan dan Danau Buyan sejauh 90 kilometer ke arah utara. Tibalah beliau di Puri Sukasada. di wilayah Denbukit (Buleleng). Dari Sukasada beliau I Gusti Made Tegeh (I Gusti Tegehkori VII) mulai merenda masa depan. jauh dari kerajaan yang ditinggalkan. Dengan cerdas dan bijaksana beliau menyesuaikan diri, merakyat di lingkungan yang baru. Demikian pula para sameton Beliau lainnya yang meninggalkan Puri Tonjaya, Puri Ksatria, Puri Tegal menyebar ke berbagai arah penjuru Bali. Berhubung ketika itu sudah tidak lagi menuduki singgasana kerajaan, maka mulai masa itu Beliau hingga keturunannya tidak lagi mengaku premenak. Setelah tidak lagi menjadi raja, beliau membaur di tengah-tengah masyarakat.


Sebagai punggawa, sudah tentu beliau aktif menggerakkan laskar membentengi Bali di pesisir utara dan barat yang berbataan dengan Pulau Jawa. Keberanian Beliau sebagai ksatria sejati telah teruji ketika diutus oleh Raja Panji Sakti untuk menindak penguasa Tebusalah (Kalianget) yaitu Ki Sasangka Adri yang berencana melakukan penyerangan ke Puri Sukasada.


Sebagai penguasa maka tempat yang Beliau pilih untuk bermukim sekaligus tempat menjalankan tugas kepunggawaan adalah di tengah-tengah (poros) Desa Pengastulan. Posisi sentral pemerintahan di tengah desa sesuai dengan ajaran Kandapat (Nawa Dewata). Posisi pekarangan Beliau selain nyatur juga terluas tidak ada yang menyamai. Letaknya cukup strategis, karena diapit dua jalan utama di timur dan di baratnya serta dua jalan ukuran sedang di selatan dan utaranya. Pintu gerbang pekarangan Punggawa Pengastulan adalah berupa kori yang cukup tinggi menghadap ke utara. Begitu masuk, terdapat hamparan pekarangan (nista mandala) yang cukup luas. Di tengah pekarangan dipasang parigi (candi bentar berundak) menuju Pamereman Punggawa. Parigi itu berfungsi sebagai jalan masuk dari nista mandala ke madya mandala. Di sisi timur madya madala adalah tempat pamereman Punggawa Pengastulan. Pamereman Beliau adalah bangunan berundak bertembok tanah dan oleh keturunannya disebut Gedong Lingsir atau umahe tua. Undakan dan sebagian lantainya terbuat dari bata merah yang cukup tebal dan lebar. Di luanan Gedong Lingsir dibangun merajan keluarga. Merajan dibikin berundak dari bata merah yang tebal lebar dan halus. Sedangkan pelinggih-pelinggihnya dari kayu pilihan. Di luanan merajan (karang hulu) terdapat areal taman kebun bunga dan buah-buahan. Merajan ini oleh keturunan beliau disebut Merajan Lingsir (tertua). Arwah suci Raja Badung I Gusti MadeTegeh (Tegehkori VII) Punggawa I Pengastulan disthanakan pada bangunan meru tumpang tiga yang berada di jajaran paling utara Merajan Lingsir.


Berdasarkan konsep manuting dresta kaprabon maka raja-raja terdahulu membangun pura pemujaan leluhurnya sudah pasti berdekatan dengan purinya. Demikianlah halnya Pura Badung sebagai tempat suci untuk memuja para leluhur dan Ida Bhatara yang terkait, Beliau bangun persis di seberang pintu gerbang puri. Pura pemujaan terhadap leluhur itu diberi nama Pura Badung adalah dimaksudkan untuk selalu mengingat bahwa Kawitan adalah Raja Badung dinasti Tegehkuri. Salah satu candi/palinggih di Pura Badung yang cukup penting artinya bagi keturunan Beliau di Pengastulan adalah Pangayatan Ida Bhatara Dalem Duwure. Candi itu tiada lain adalah untuk pangayatan Ida Bhatara Panji Sakti. Letak candi itu di sebelah timur penyawangan Kawitan Dalem Tegehkuri I Moksasuka ring Puri Tonjaya Badung. Candi Parhyangan Panji Sakti itu dibangun untuk memenuhi Raja Bhisama Dalem Mangui. Raja Bhisama itu pada intinya untuk mengingatkan agar Arya Dalem Tegehkuri VII dan I Gusti Panji Sakti II selama-lamanya hingga turun temurun tidak boleh saling melupakan. Inilah kutipan Rajabhisama itu : “... rauhing damuh ngawetang sanggar parhyang apang teher pada inget. Asing engsap apang kena papa bruhati tan anemu sugatin”.


Prasasti yang Beliau bawa dari Puri Satria Badung, sebelum kelak disimpan di meru Pura Badung yang ketika itu mulai dirintis pembangunannya. ditempatkan cukup lama di lelanggatan huliming pakasatun Punggawa di Gedong Lingsir, Posisinya persisnya di dekat merajan. Di lelanggatan itu Prasasti diapit oleh keris Carita Balebang dan tombak Biring Lalemon, Prasasti itu dibuatkan keropak berbentuk Singaminambara. Salah satu dari tiga orang lelaki keturunan Beliau yang diberi nama I Gusti Keropak yang kemudian meneruskan untuk pertama kalinya jabaian Punggawa Pengastulan. I Gust Keropak inilah yang kemudian turun-temurun ditugasi mengemban Keropak Prasasti Singaminambara. Oleh karena Rajapurana Arya Dalem Tegehkori itu pernah ditempatkan di dalam Meru tumpang solas Pura Badung, sehingga Rajapurana itu disebut Prasasti Pura Badung. Meru tumpang solas itu adalah candi pemujaan terhadap Bhatara Kawitan Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan beserta Bhatara-bhatara Kawitan di atas Beliau hingga yang tertinggi yaitu Ida Bhatara Hyang Pasupati bersthana di Gunung Semeru di Jawa Timur. Konsep bangunan Meru itu juga mengandung makna ajaran Kundalini. Ketika “Ular Sakti Bio Energi Semesta Kundalini” itu mamurti bangkit dari tidurnya di Muladhara Chakra, ia akan naik melintasi Merudanda (shusumna nadi) menuju Sahasrara Chakra di Siwaduwara. Itulah ajaran Yoga Samadhi Kamoksan atau pencapaian kesadaran semesta raya. Jika diteluri riwayatnya, maka Prasasti itu adalah druwen seluruh keturunan Dalem Tegehkori, bukan semata milik sekelompok dadia tertentu saja. Sedangkan keris dan tumbak anugerah Raja Mangui adalah benda pusaka khusus untuk pegangan Punggawa Pengastulan. Kedua benda pusaka tersebut tetap dirawat dengan baik oleh damuh Ida di Jero Lingsir Pengastulan.


Sesuai dengan tingkat urutan silsilah, Raja Badung Tegehkuri VII disthanakan di meru tumpang tiga Merajan Lingsir. Sedangkan di Pura Badung sthana Beliau adalah di Gedong Paibon. Jika ditelisik dari tingkatan status pura. maka Pura Badung di Pengastulan yang hanya disungsung oleh enam dadia, adalah tergolong pura panti. Enam dadia itu adalah Dadia Jero Lingsir Mangku Pabean. Dadia Jero Agung, Dadia Guru Kaler, Dadia Guru Menaka, Dadia Guru Gerauh dan Dadia Guru Menira. Kedudukan semua dadia dan krama penyungsungnya adalalah sama, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Juga tidak ada istilah moncol dan tidak ada istilah pemaksan. Di hadapan Ida Bhatara dan Ida Sang Hyang Widhi semuanya sama dan sederajat. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk fisik, swadharma dan waktu kelahiran saja. Beda dengan kedudukan Pura Dalem Benculuk di Tonja, oleh karena disungsung ribuan Dadia maka statusnya adalah Pura Kawitan. Di pura ini juga sama, tidak ada istilah moncol atau pun pemaksan.


Singaminambara adalah bentuk mithologi patung berkepala singa sekaligus berbadan ikan atau ulam agung/be gede. Mithologi itu diwujudkan pada keropak penyimpanan Prasasti Pura Badung. Perwujudan mithologi itu juga bisa menjadi salah satu bentuk sarana petulangan ketika menyelenggarakan upacara ngaben/pitrayadnya. Selama ini warih I Gusti Tegehkori kebanyakan menggunakan petulangan berbentuk Gajahmina dan Kajang Kawitan ada yang nunas di geriya dan ada pula di Puri Agung Klungkung. Kini melalui keputusan Mahasabha Pasemetonan Ageng Tegehkuri 2009 hal ini telah diluruskan, kajang kawitan dapat dimohon di Pura Agung Klungkung dan di Pandita Shri Bhagawan warih I Gusti Tegehkori. Demikian pula menyangkut atiwa-tiwa, sebagai warih Dalem berhak menggunakan ketentuan Satria Utama.


Petulangan adalah sebentuk kendaraan mithos yang lahir dari keyakinan bahwa kendaraan surga itu akan dapat mengantar arwah sang swargi atau pitara dari alam Bhurloka menuju alam Bhwahloka/Bhatara hingga Swahloka/ Shiwaloka/Swargaloka. Dalam Ilmu Wariga (wawarah ring raga) khususnya tentang pawukon dikenal adanya Ingkel, yaitu enam tingkat kelahiran setiap roh sesuai dengan karmawasana semasa hidupnya. Siklus kelahiran setiap roh senantiasa merunut pada Ingkel, yaitu wong, sato, mina, manuk, taru, buku. Dalam siklus reinkarnasi (punarbhawa) setiap roh akan selalu cenderung berkehendak lahir menjadi wong (manusia) yakni makhluk yang memiliki bayu, sabda dan idep atau tripramana (bertumbuh, bersuara dan berfikir). Sedangkan sato (hewan berkaki empat), mina (ikan), mamik (unggas) adalah makhluk yang tergolong dwipramana (bertumbuh dan bersuara). Taru (pepohonan) dan buku (wuku = beruas-ruas seperti rumput, bambu, tebu dsb) adalah makhluk ekapramana yang hanya bisa bertumbuh saja. Tentu saja tidak setiap reinkarnasi bisa beruntung lahir menjadi wong/manusia. Karena setiap roh pasti membawa muatan berupa Karma (buah dari perbuatan). Karma adalah penentu proses evolusi setiap roh. Setiap roh akan bereinkarnasi mengmbil bentuk apa, dimana, kapan, bagaimana ?. Hal itu sangat ditentukan oleh karmanya. Karma inilah yang menjiwai kelahiran sang roh.


Berangkat dari sebuah keyakinan berdasarkan sejarah dan babad, bahwa asal mula leluhur Arya Dalem Badung Tregehkori adalah dari kalangan brahmana. Kemudian atas titah Ratu Majapahit Tribhuwana Tunggadewi, maka putra ke empat bhagavanta Shri Soma Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali. Akibatnya terjadi peralihan status dari keluarga brahmana menjadi ksatria. Bagi kalangan brahmana pada umumnya petulangannya saat pitrayadnya menggunakan kendaraan mithologi berbentuk lembu putih. Bagi para raja umumnya mengganukan petulangan singa atau lembu hitam. Selain ada petulangan dalam prosesi pitrayadnya (ngaben) ada lagi simbol wong atau orang-orangan yang disebut dawang-dawang yang senantiasa berada pada barisan terdepan dalam upacara mapeed hingga ke setra. Dawang-dawang itu adalah semacam ogoh-ogoh atau ondel-ondel berupa sepasang lelaki dan wanita yang parasnya gagah dan ayu. Mitos atau nilai-nilai luhur yang terkandung pada dawang-dawang itu adalah agar kelak di kemudian hari jika sang pitra atau sang swarga manumitis atau reinkarnasi diharapkan akan menjadi wong atau orang yang gagah berwibawa atau cantik berbudi ayu.


Sebagai punggawa, penguasa yang mewilayahi kawasan pesisir barat laut Bali, maka areal pingit Dangkahyangan Pulaki adalah kawasan spiritual yang menjadi sungsungan warih Arya Dalem Badung Tegehkori VII. Sebagai pemuja Bhatara ring Pulaki, maka Punggawa Pengastulan memprakarsai dan bersama-sama krama desa Muntis (Pengastulan) mendirikan catur pura pasanakan di desa Pengastulan yaitu porosnya adalah Pura Ageng, pesanakatmya adalah Pura Pabean, Pura Pembungan, Pura Kembang Jenar dan Pura Kendal. Masing-masing pura tersebut memiliki fungsi yang berbeda namun satu sama lain saling terkait. Salah satu wujud palinggihan atau rerencang Bhatara ring Pulaki adalah macan yang disebut Jero Sedahan atau Jero Shardula yang merupakan druwen Ida Bhatara Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Palinggihan druwe yang berwarna petak belong bungkem ada di Pura Pabean Prengastulan. Nama Pura Pabean memiliki pengertian ganda. Jika diartikan pa-be-an (bahasa Bali) artinya perikanan atau kelautan. Sedangkan jika dikaitkan dengan ke-pabean-an (bahasa Indonesia) mengandung arti yang terkait dengan pengenaan biaya, uang, bandar.


Pura Pabean memiliki sejumlah pretima antara lain berupa bajra (genta) dan teteken (tongkat brahmana) berlapis emas yang merupakan paican Ida Bhatara Lingsir di Pulaki. Paica itu hingga kini disungsung di Merajan Lingsir. Setiap kali berlangsung upacara rerahinan di Pura Pabean dan di Merajan Lingsir maka bajra itu dibunyikan oleh Jero Mangku Pabean. Piodalan di Pura Pabean dan Pura Badung mengikuti siklus 30 wuku (210 hari). Piodalan di Merajan Lingsir jatuhnya pada setiap Selasa Kliwon (Anggarakasih) Julungwangi. Dilanjutkan pada keesokan harinya dilaksanakan rerahinan/ piodalan di Pura Pabean, yaitu Rabu Umanis Julungwangi. Tegak upacara rerahinan/piodalan pada Meru Tumpang Tiga di Merajan Jero Lingsir senantiasa jatuh pada setiap Selasa (Anggara) Kliwon Perangbakat. Dan dilanjutkan pada keesokan harinya yaitu pada Rabu (Buda) Umanis Perangbakat upacara rerahinan/piodalan di Pura Badung (Meru Tumpang Solas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Tentang Penulis

  Penulis     Drs. I Gusti Nyoman Suartha Kelahiran Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt Kab. Buleleng, 23 Oktober 1952, Pendidikan Insti...