Minggu, 06 September 2020

Menyikapi Waris Leluhur



Salah satu keturunan Brahmana Pancakatirta Bradah dari garis purushu Brahmana Kepakisan diterapatkan di Bali menjadi Raja/Dalem/Ksatria yaitu Shri Aji Kresna Kepakisan sendiri. Beliau menurunkan raja-raja Bali seperti Agra Samprangan (Dalem Ile), Dalem Ketut Ngulesir (Shri Semara Kepakisan), Dalem Waturenggong, Dalem Bekung (Raden Pangharsa), Dalem Sagening (Raden Anom Segening), Dalem Tarukan, Dewa Agung Jambe (yang memindahkan puri dari Swecapura Gelgel ke Smarapura Klungkung), I Gusti Panji Sakti menjadi Raja Buleleng dari garis purusha Dalem Anom Segening.


Seorang putra Dalem Shri Aji Kresna Kepakisan yang kadanaputra ke Puri Buahan yaitu I Dewa Pemayun yang kemudian ganti namanya menjadi Arya Dalem I Gusti Tegehkuri naik tahta menjadi Raja Badung I sekitar tahun 1380 ketika berusia 20 tahun berpuri di Tonja atas anugerah Ida Bhatara Dewi Danu Batur. Beliau menurunkan raja-raja Badung hingga dinasti ke empat.


Keterkaitan Punggawa Pengastulan dengan Dangkahyangan Agung Pulaki diwujudkan dengan keberadaan pangayatan Pulaki di Pura Badung dan Pura Pabean Pengastulan. Waris leluhur berupa Pura Badung adalah merupakan hak dan kewajiban bersama enam Dadia untuk mengurus dan mengatur segala sesuatunya. Termasuk tentunya prasasti yang sudah disimpan bedelod. Prasasti itu kini disimpan dengan baik oleh keturunan I Gusti Keropak di Jero Agung yaitu I Gusti Ngurah Susanta. Sedangkan waris druwe Punggawa Tegehkuri di Pamerajan Lingsir masih tersimpan utuh berupa sepasang genta lanang istri, teteken brahmana, keris Carita Balebang, tombak Biring Lalemon, pretima Pura Pabean, pretima Merajan dan pretima Kawitan, manik-manik, rontal usada, rontal wariga dan sebagainya. Setiap rerahinan/piodalan, druwe-druwe itu diupacarai dengan baik.


Adanya kesamaan konsep Panca Sanak Parhyangan Agung (Kandapat) di Pulaki dan di Pengastulan menguatkan keyakinan adanya benang merah pada kedua kawasan spiritulal itu. Kesamaan konsep spiritual itu meliputi adanya Pura Ageng sebagai poros tengahnya, Pura Pabean (utara), Pura Kertakawat (timur), Pura Melanting (selatan). Pura Pemuteran (barat), Pura Pucak Manik sebagai payogan Ida Bhatara Lingsir/Pedanda Sakti Wawu Rawuh (atas) menjadi hulunya. Sedangkan di sisi timur Pura Ageng Pulaki ada dua tempai suci yang amat pingit yaitu Goa Shardula dan Pura Wongmaya/Mayong (Maya + wong = Mayong).


Konsep nyatur sanak seperti di Pulaki juga terdapat di Pengastulan, yaitu Pura Ageng sebagai poros/pamuncuk, Pura Pabean (utara), Pura Pembungan (barat), Pura Kembangjenar (selatan) dan Pura Kendal (timur). Konsep nyatur adalah tatanan konsep spiritual yang diyakini kesakralannya. Nama Desa Muntis pun disempurnakan sesuai dengan perkembangannya, namanya dipralina menjadi Desa Pengastulan, bahwa desa ini adalah merupakan genah pengastawan (pemujaan).


Rentetan kejadian mistis pada masa-masa silam kerap terjadi setiap rerahinan tertentu terutama saat tengah malam purnama, para tetua Jero Lingsir menyaksikan medalnya palinggihan Shardula petak itu dari Pura Pabean masuk ke Merajan Lingsir dan kembali lagi ke Pura Pabean. Nyaringnya suara genta alit/gongseng yang tergantung di leher palinggihan di Pura Pabean itu kerap dibarengi getar suara teteken duwe Ida Bhatara Lingsir yang menyentuh pertiwi. Pura Pabean disebut juga Pura Kelod karena letak pura itu berada di sisi utara desa.

Jika Ida Bhatara ring Pulaki berkenan kodal senantiasa menyebut Tanah Slaka (slaka = perak) ketika menyebut nama Pengastulan. Sedangkan Pulaki disebut Giri Kencana (bukit/gunung emas). Di Pura Pabean Tanah slaka selain terdapat beberapa penyawangan Pesanakan Agung Pulaki juga ada beberapapa palinggih yang berkaitan dengan lalinggihan Bhatara-bhatari penguasa kelautan, perikanan, kepabeanan dan hubungan luar negeri. Pada zaman dulu perhubungan dengan dura nagari (luar negeri) hanya dapat ditempuh lewat jalur laut. Ketika berlangsung upacara rerahinan ageng, Bhatara-bhatari saking dura nagari kasangra ring Bale Pahyasan Durangkaya. Adanya bale panyangra Durangkaya dan Ratu Subandar serta pretima pis bolong yang ada di Pura Pabean adalah merupakan suatu bukti sejarah bahwa sejak zaman yang silam telah terjadi suatu proses aktlturasi budaya dengan dunia luar. Semenjak terjadinya proses aklutitrasi hingga kelak di kemudian hari di Pura Kelod pantang menghaturkan, memotong, mengolah daging babi. Pantangan itu adalah merupakan bentuk toleransi keberagamaan skala niskala. Pura Kelod secara geografis bertetangga amat dekat dengan sebuah masjid yang cukup kuno. Dusun warga Muslim di situ pun kemudian dinamai Dusun Kauman. Akulturasi budaya antara Bali dengan dunia luar sejatinya telah terjadi berabad-abad yang silam. Salah satu buktinya adalah keberadaan Pura Kelod di Pengastulan dan Pura Dalem Mekah yang terdapat di Desa Kubutambahan. Pura Lingsar di Lombok juga adalah bukti akulturasi budaya Hindu dan Islam yang kemudian melahirkan budaya Wetutelu (waktu tiga). Pantangan menghaturkan dan mengkonsumsi daging babi berlaku di pura-pura yang mengalami proses akulturasi budaya.


Pura Kelod bukan milik dadia tertentu dan di pura itu tidak ada palinggih leluhur Dadia tertentu. Status pura itu adalah druwen desa dan merupakan salah satu Dangkahyangan. Desa Pakraman Pengastulan cukup unik, lantaran selain memiliki Kahyangan Tiga (Dalem, Puseh, Desa), juga memiliki Parhyangan Mancasanak/Catursanak. Pura Pabean (Kelod) seperti juga Pura Pabean di Pulaki, adalah merupakan salah satu pura pasanakan Pura Ageng (Pura Gede). Pura Ageng berfungsi sebagai porosnya. Pura Ageng memiliki 4 (catur) sanak yaitu: Pura Pabean (utara), Pura Pembungan (barat), Pura Kembang Jenar (selatan) dan Pura Kendal (timur). Yang cukup unik di Pura Pabean terdapat panyawangan Ida Bhatara Manik Kembar (Dewa Aswin) dalam satu atap tiga palinggih pada jajaran paling barat. Di palinggih inilah wajib bagi setiap kelahiran kembar menghaturkan bhakti, nyembah dewanya para orang kembar yaitu Dewa Aswin (Bhatara Manik Kembar). Tujuannya adalah agar seumur-umur si kembar menemui karahayuan. Pusat (Sthana Agung) Pura Manik Kembar berlokasi di salah satu desa pesisir pantai di Kabupaten Karangasem. Di Pura Pabean Pengastulan juga ada panyawangan Saluwang dengan simbol kepala menjangan bertanduk, yaitu untuk memuja Bhatara Maharshi Mpu Kuluran pencetus konsep Trilingga (Padmu Tiga di Besakih, Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman, Kamulan Rang Tiga di setiap keluarga). Mpu Kuturan yang datang dari Jawa adalah salah seorang dari lima Pancakatirta yang berjasa besar membangun peradaban Bali. Parhyangan ke lima Maharshi bersaudara yang menjadi kawitan orang Bali itu adalah : Mpu Gnijaya (di Lempuyang Madya), Mpu Smeru (di Besakih), Mpu Ghana (di Pura Dasar Bhuana Gelgel), Mpu Kuturan (Rajakerta di Padangbai) dan Mpu Bradah (Lemahtulis Pejarakan Jatim, Merajan Kangman Besakih dan Padangbai).


Selain itu di Pura Pabean Pengastulan ada juga pangayatan Bhatara Ulun Danu, Bhatara Subhandar, Dewa Surya/Raditya/Baskara, serta Taksu Agung, Taksu Ceraken, Juru Mudi, Bale Kulkul, Pura ini juga memiliki pemogongan berbentuk tandu, pratima, teteken, bajra lanag istri, hiring tulup, manik-manik berupa be/ikan, siput, batu mentik dan sebagainya memiliki beragam fungsi, antara lain sebagai penyubur sawah, penyubur laut agar nelayan makmur, untuk usada (pengobatan) dlsb.


Keberadaan palinggih-palinggih di Pura Badung serta keputusan menyangkut patulangan dadia serta kajang kawitan telah diawali dengan kajian yang amat luas dan mendalam sesuai dengan data atau fakta yang dipegang oleh para leluhur. Tokoh penting yang amat berperan dalam kajian itu adalah Ida Pedanda Sakti Kemenuh. Brahmana Sakti Kemenuh adalah keturunan Danghyang Dwijendra Nirarta yang tiada lain adalah Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Brahmana Sakti Kemenuh di Griya Sanaket Sukasada adalah bhagavanta (penasehat raja dan pamuput upacara) Raja Panji Sakti. Itulah sebabnya para tetua Dadia Jero Lingsir Mangku Pabean selalu mengingatkan agar damuh senantiasa minus pamuput lan mapituhu ke Pedanda-pedanda Kemenuh jika menyelenggarakan upacara yadnya yang tergolong utama. Raja Panji Sakti masesangketan dengan bhagavanta Beliau yaitu Ida Pedanda Sakti Kemenuh. Griya Ida Pedanda Sakti Kemenuh di timur Puri Sukasada disebut Griya Sangket, karena hubungan beliau-beliau itu demikian erat tak terpisahkan. Griya beliau itu adalah griya yang pertama adanya di Buleleng. Namun kini sesuai dengan perkembangan terbaru yaitu melaui Keputusan Mahasabha I Pasemetonan Ageng Tegehkori, maka pemuput upacara telah dapat pula dilaksanakan oleh Ida Pandita Shri Bhagawan yang notabene adalah warih Dalem Tegehkori.


Secara geografis, pekarangan dan pamerajan Jero Lingsir Mangku Pabean Pengastulan letaknya nyuryasewana atau nyuryanamaskara dengan Pura Badung, atau searah dengan garis lintas matahari dari timur ke barat, bahkan terdekat. I Gusti Tegehkori VII selama menjadi punggawa di Pengastulan menurunkan I Gusti Keropak, I Gusti Banteng dan I Gusti Gelar. Ketiga putra Beliau itu masing-masing mendapat pembagian tugas. I Banteng mengelola harta benda berupa sawah yang cukup luas. I Gusti Gelar mengurus keuangan, menjadi sedahan agung. Keduanya, I Gusti Gelar dan I Gusti Banteng beserta keturunannya mendapatkan tempat di Karang Alitan yaitu di bedelod (utara). I Gusti Keropak sebagai putra tertua tetap berada di Karang Lingsir menjadi Punggawa Pengastulan meneruskan amanat leluhur sekaligus mengemban rajapurana atau prasasti. Sejak saat itu prasasti disimpan di sebuah keropak (kotak kayu) berukir patung Singaminambara.

Suksesi kepunggawaan pada zaman kerajaan yang silam berlangsung secara turun-temurun. Suksesi turun-temurun terjadi pada jabatan : raja, punggawa, bendesa, pemangku pura, pedanda. Jabatan itu dapat diturunkan ke salah satu keturunannya secara garis lurus. Pada suksesi Jabatan punggawa di Pengastulan pun mengikuti garis lurus. Mangkat Punggawa I Gusti Keropak, diganti oleh putranya yaitu Punggawa I Gusti Mertakota. Mangkat Punggawa I Gusti Mertakota diganti oleh sepupunya yaitu Punggawa I Gusti Mineb. Mangkat Punggawa I Gusti Mineb diganti oleh Punggawa I Gusti Supada (putra Punggawa Mertakota). Mangkat Punggawa I Gusti Supada diganti oleh I Gusti Meling yang kemudian diganti oleh Punggawa I Gusti Hinggas (Inggas). Mangkat Punggawa I Gusti Hinggas diganti oleh putra Punggawa I Gusti Meling yaitu Punggawa I Gusti Nyoman Rawos (IGN. Raos). Mangkat Punggawa IGN. Raos diganti oleh putranya yaitu Punggawa I Gusti Wayan Raos. Punggawa I Gusti Wayan Raos (I Gusti Cekrok) menyingkir ke Karangasem bersama Patih Kerajaan Buleleng I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng Anak Agung Ngurah Karangasem. Mereka menyingkir ketika laskar Buleleng pimpinan Patih Jelantik terdesak dan mengalami kekalahan melawan tentara kolonialis Belanda dalam Perang Jagaraga (1846 - 1849). Jro Jempiring istri Patih Jelantik tewas secara herois diterjang pelor panas tentara Belanda ketika mempertahankan Benteng Jagaraga. Selama menyingkir, Punggawa Pengastulan Wayan Raos diganti sementara oleh adiknya yaitu I Gusti Gentil/Kompyang Gintil. Berakhirnya Perang Jagaraga disusul masuknya pengaruh imperialis Belanda di Bali. Mulai saat itulah Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengendalikan pemerintahan kerajaan di Bali. Tidak lama kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda jabatan Punggawa Pengastulan dialihkan dari I Gusti Gentil kepada sepupu Beliau yang tinggal di bedelod yaitu I Gusti Wayan Tunaji. Punggawa I Gusti Wayan Tunaji adalah putra dari I Gusti Wayan Alab. Mulai generasi I Gusti Wayan Alab dibangun tempat tinggal dan membikin merajan di bedelod yaitu di tempat I Gusti Putu Artana sekarang. I Gusti Wayan Alab adalah saudara kandung Punggawa I Gusti Nyoman Raos. Mereka berdua adalah putra Punggawa Meling (Ingan). Sepeninggal Punggawa I Gusti WayanTunaji, kemudian Belanda menunjuk seorang Brahmana yaitu Ida Bagus Surya dari Desa Banjar menjadi Punggawa. Punggawa Wayan Tunaji adalah Punggawa Pengastulan terakhir dari garis keturunan I Gusti Keropak. Punggawa Banjar melanjutkan tugas Punggawa Pengastulan. Wilayah kerja kepunggawaan Banjar sama dengan wilayah kepunggawaan Pengastulan yaitu meliputi Buleleng Barat hingga Gilimanuk. Punggawa terakhir yang berasal dari Desa Pengastulan adalah I Gusti Made Putra Temaja (Gusti Punggawa) tinggal di Jero Anyar di Pengastulan. I Gusti Made Putra Temaja adalah dari garis keturunan I Gusti Gelar. Masuknya Belanda menguasai pemerintahan kerajaan di Bali pasca Perang Jagaraga disusul Perang Kusamba yang berakhir dengan episode Puputan Klungkung, membawa ekses bagi kehidupan budaya di Bali.


Sistem pemerintahan negara yang berbentuk republik telah menghapus seluruh tatanan kerajaan. Pengaruh puri-puri di Bali dan di wilayah Nusantara lainnya berangsur memudar. Sejumlah tokoh puri merasa kehilangan pengaruh di masyarakat. Terlebih para raja atau tokoh puri yang pernah menjadi kaki tangan penguasa kolonial, merasa ditinggalkan oleh rakyat. Harta benda kerajaan terutama lahan-lahan pertanian yang sebelumnya digarap oleh panyeroan/ penyakap tidak lagi dikembalikan ke puri. Beberapa bangunan puri diambil-alih oleh pemerintah untuk dialih fungsikan bagi kepentingan umum.


Berakhirnya masa kejayaan puri tidak lantas serta-merta menghapus peran sosial religius puri di mata dan hati krama Bali. Kedati peran raja di puri tidak lagi mengurusi masalah kenegaraan, namun peran penting sebagai “tedung jagat” masih dan akan terus diakui oleh krama (masyarakat adat). Puri-puri bekas kerajaan di Bali termasuk Kerajaan Majapahit, Kerajaan Bedahulu dsbnya masih tetap diyakini keberadaannya sebagai benteng adat-istiadat berdampingan dengan Desa Adat (Pakraman). Krama Bali adalah orang-orang yang selalu ingat akan sejarah leluhurnya. Bung Karno sang Proklamator/Presiden RI senantiasa mengingatkan bangsanya agar “jangan sekali-kali melupakan sejarah ... “. Secara tradisional pada hampir semua krama Bali akan merasa kuwalat jika meninggalkan sejarah dan melupakan bhakti terhadap leluhurnya. Krama Bali adalah komunitas religius sosialistis. Tanah Bali adalah palemahan metaksu (sakral). Bali adalah Pulau Dewata. Siapa lagi yang harus menjaga gumi dan taksu Bali kalau tidak orang Bali sendiri, Rahayurastu tat astu astu . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Tentang Penulis

  Penulis     Drs. I Gusti Nyoman Suartha Kelahiran Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt Kab. Buleleng, 23 Oktober 1952, Pendidikan Insti...